SinarHarapan.id – Gempa yang mengguncang Pulau Bawean 6,5 SR pada 22 Maret silam telah membuat luluh lantak sejumlah bangunan di pulau Bawean. Tercatat hingga Rabu (17/4), sudah lebih dari 550 kali gempa susulan. Namun status tanggap darurat sudah berakhir, ribuan relawan sebagian besar sudah meninggalkan pulau yang berada di Utara Jawa Timur tersebut.
Namun, berhentinya status tanggap darurat dan kepulangan relawan ini bukan menandai masalah dampak gempa pulau Bawean telah selesai. Penderitaan sesungguhnya baru saja dimulai.
Disaat para penyintas gempa pulau Bawean belum mampu membangun kembali tempat tinggalnya yang hancur akibat gempa, disaat mereka masih merasakan trauma akibat gempa susulan yang masih terus terjadi, disaat ekonomi belum bisa bangkit. Semua dukungan, bantuan sudah berhenti.
Demikian diungkapkan team relawan Indonesia CARE di Bawean, Franky Pratama dalam rilisnya ke media, Kamis (18/4). “Alhamdulillah dalam kondisi seperti ini, kami masih ada disini membersamai mereka. Kehadiran kami di dusun Batulintang Bawean ini diterima baik oleh masyarakat Dusun Batulintang. Disini kami mengadakan kegiatan edukasi mitigasi bencana dan trauma healing,” ujar Koordinator relawan asal Yogyakarta tersebut.
Indonesia CARE memilih melakukan implementasi kegiatan di Dusun Batulintang, Desa Teluk Jatidawang, Kecamatan Tambak, Kabupaten Gresik, Pulau Bawean karena wilayah ini termasuk yang cukup parah terdampak gempa.
Dikatakannya, jumlah penduduk di dusun tersebut sebanyak 80 KK dengan rincian termasuk rumah yang terdampak gempa dengan kehancuran ringan hingga berat.
“Alhamdulillah, Edukasi Mitigasi Bencana dan Trauma Healing bersama anak-anak yang kami lakukan selalu diikuti puluhan anak-anak. Kami juga akan melakukan kegiatan trauma healing buat lansia dan perempuan yang paling merasakan dampaknya,” imbuh Franky.
Hasil pantauan relawan, hingga hari ke 27 sejak pertama kali gempa besar melanda, satu tenda pengungsian ukuran besar masih ditempati 6 keluarga. “Selebihnya masyarakat dusun Batulintang memilih mengungsi di teras rumahnya masing-masing. Trauma masih selalu menyelimuti penduduk sehingga tak berani masuk ke dalam rumah walau masih utuh bangunannya,” ungkap Franky
Diceritakan ol h kepala dusun Batu Lintang, Solihin bahwa selama ini belum pernah ada riwayat gempa dan bencana besar di kampungnya. “Seumur-umur saya hidup di Bawean engga pernah ada gempa, sekali gempa besar sekali kehancurannya. Ini yang membuat saya dan masyarakat Bawean jadi trauma apalagi masih terus terjadi gempa susulan setiap hari,” ujarnya usai menyaksikan anak-anak penyintas gempa Bawean mengikuti kegiatan trauma healing Indonesia CARE.
Secara terpisah, direktur Eksekutif Indonesia CARE, Lukman Azis Kurniawan mengajak masyarakat untuk tetap peduli walaupun tak ada lagi pemberitaan dari lokasi bencana. “Karena saat tak ada lagi berita, tak ada lagi bantuan logistik yang masuk, justru saat itulah rasa sedih, terpukul dan trauma berat sedang melanda para penyintas. Tak ada lagi yg menghibur dan dibutuhkan pendampingan hingga mereka bisa bangkit kembali,” tandas Lukman.