SinarHarapan.id – Di sebuah ruang diskusi di kawasan D-Hub Special Economic Zone (SEZ), BSD, Tangerang, Selasa (2/12/2025) siang, para pengelola kawasan ekonomi khusus (KEK), pejabat pemerintah, dan pengamat ekonomi berkumpul untuk satu hal: mencari cara paling realistis agar KEK benar-benar menjadi mesin baru pertumbuhan nasional.
Pertanyaan besarnya sederhana namun mendesak: bagaimana membuat regulasi KEK lebih konsisten, lebih kompak, dan lebih memudahkan?
Pertanyaan itu mencuat berulang kali dalam Roundtable Decision bertajuk “KEK Akseleratif Atraktif Tingkatkan Investasi dan Lapangan Kerja” yang digelar SUAR.id. Energi diskusi bergerak dari capaian-capaian teknis hingga hambatan regulasi yang masih membuat para pengelola kawasan tersendat.
Dampak Ekonomi Mulai Terlihat
Sekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian Susiwijono Moegiarso, yang hadir mewakili Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, menggarisbawahi bahwa kontribusi KEK terhadap ekonomi daerah terus menguat. Ia menyebut temuan LPEM Universitas Indonesia pada 2023 yang menunjukkan KEK Sei Mangkei, Sumatera Utara, mampu menambah PDRB provinsi hingga Rp6,6 triliun. Lapangan kerja yang tercipta pun mencapai puluhan ribu.
“Tak hanya tambahan lapangan kerja, tapi KEK juga berdampak langsung pada PDRB,” ujarnya.
Namun, bila dibandingkan dengan negara tetangga, lanskap KEK Indonesia masih relatif kecil. Total luas lahan KEK di Indonesia baru sekitar 20.912 hektar—jauh di bawah Thailand yang mencapai lebih dari 600.000 hektar, atau Malaysia yang mencapai 2,1 juta hektar. Pemerintah menilai ekspansi kawasan penting untuk mengejar ketertinggalan sekaligus memperkuat hilirisasi, salah satunya melalui KEK Gresik.
Di kawasan itulah smelter tembaga terbesar di dunia yang dikelola PT Freeport Indonesia berdiri. Kapasitas olahannya mencapai 1,7 juta ton konsentrat per tahun. Jika digabung dengan fasilitas PT Smelting, total pengolahan tembaga nasional mencapai 3 juta ton per tahun. KEK Gresik saja menyumbang sekitar Rp10 triliun pada PDB nasional tahun 2023.
Hambatan Regulasi yang Mengemuka
Di tengah dorongan ekspansi, sejumlah kebutuhan mendesak muncul dari para pengelola KEK. Direktur Eksekutif KEK Kendal, Juliani Kusumaningrum, menuturkan bahwa kawasan yang ia kelola telah menyerap 66.000 pekerja—melampaui target awal 20.000 orang. Fase pembangunan pertama seluas 1.000 hektar bahkan diprediksi selesai lebih cepat.
Namun, kecepatan itu terhambat regulasi. “Perluasan wilayah sudah kami siapkan, tetapi aturan teknisnya belum keluar. Ini menyulitkan kami untuk bergerak,” kata Juliani.
Hambatan berbeda muncul di KEK ETKI Banten, kawasan pendidikan, teknologi, dan kesehatan. Menurut Strategy Advisor Mulyawan Gani, belum adanya aturan spesifik untuk KEK bertema pendidikan dan industri kreatif membuat perizinan harus diurus ke banyak lembaga.
“Padahal logikanya KEK harus satu pintu. Tetapi untuk izin-izin tertentu, kami harus menyebar ke berbagai instansi,” ujarnya.
Dari KEK Sanur, Direktur Utama InJourney Hospitality Christine Hutabarat menekankan perlunya kesamaan persepsi antara pemerintah pusat dan daerah, terutama dalam perizinan sektor kesehatan.
“Regulasinya harus satu bahasa. Kalau tidak, pengawasan dan implementasi jadi timpang,” katanya.
Sektor Kesehatan: Potensi Besar, Ketergantungan Tinggi
Dalam sambutannya secara daring, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengingatkan bahwa sektor kesehatan tumbuh 9–11 persen per tahun. Namun, potensi ekonomi domestiknya masih bocor keluar negeri karena sebagian besar peralatan dan bahan baku obat masih berasal dari impor.
Belanja kesehatan nasional bahkan mencapai Rp640 triliun per tahun. “Kalau manufakturnya dibangun di Indonesia—terutama lewat KEK—aktivitas ekonominya terjadi di dalam negeri dan menyerap tenaga kerja,” ujar Budi.
Dari sisi tata kelola, Plt. Sekretaris Jenderal Dewan Nasional KEK, Rizal Edwin Manansang, menegaskan bahwa koordinasi antarlembaga masih perlu diperkuat. Ia juga menyoroti pentingnya dukungan jangka panjang dari pemerintah daerah agar kawasan tidak mandek di tengah jalan.
“Administrator harus kuat. Tanpa itu, KEK rawan kehilangan arah.”
Pengamat ekonomi senior Aviliani menambahkan bahwa harmonisasi pusat–daerah masih menjadi tantangan paling nyata. Ia juga menyinggung faktor eksternal seperti harga energi yang lebih mahal dibandingkan Malaysia, yang membuat daya saing kawasan turun.
Regulasi yang Tidak Membingungkan
Di penghujung diskusi, Founder & Editor in Chief SUAR, Sutta Dharmasaputra, merangkum satu kata kunci: konsistensi. Baginya, insentif KEK sudah cukup kuat, namun belum efektif karena kebijakan antarinstansi belum berjalan serempak.
“Regulasi yang konsisten akan membuat investor tidak bingung. Itu yang paling krusial,” tuturnya.
Tentang SUAR
SUAR merupakan media berlangganan berbasis di Jakarta yang digagas enam pendiri dengan latar belakang jurnalisme dan korporasi. Melalui viewsletter harian Weekday Bright dan rangkuman akhir pekan Weekend Bright, SUAR menyajikan analisis singkat untuk pengambil keputusan. Mereka juga menghadirkan laporan mendalam lewat SUAR Insight dan diskusi eksklusif SUAR Forum, yang menjadi jembatan antara dunia usaha, pemerintah, dan masyarakat sipil.









