SinarHarapan.id – Pagi di Dukuh Atas kerap dibuka dengan warna langit yang tak lagi memberi harapan. Biru yang dulu akrab kini lebih sering tertutup semburat abu keperakan. Di tengah kenyataan itu, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menggelar kampanye udara bersih selama akhir pekan, 6–7 Desember 2025, sebagai upaya mengajak warga melihat kembali sesuatu yang perlahan hilang: langit sehat.
Menggugah Kesadaran Lewat Diskusi dan Data
Pada Sabtu siang, sebuah diskusi publik bertajuk “Membangun Kota, Menyelamatkan Paru-paru” membuka rangkaian acara. Ruang diskusi dipenuhi mahasiswa, pekerja, dan warga urban yang sehari-hari menantang polusi di jalanan.
Fachrial Kautsar, Policy & Advocacy Manager CISDI, memulai dengan angka yang membuat banyak hadirin terdiam. Ia mengutip laporan BMKG tahun 2023 yang menunjukkan kadar PM2.5 di Jakarta mencapai hampir delapan kali lipat ambang batas aman WHO.
“Paparan intensif terhadap polutan udara ini bukan sekadar mengganggu napas. Dampaknya merembet ke penyakit jantung, fungsi kognitif, hingga kualitas hidup,” ujarnya.
Fachrial mengingatkan bahwa hingga Oktober 2025, kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di Jakarta telah melampaui satu juta. “Kelompok rentan seperti pekerja informal luar ruangan, anak-anak, lansia, dan masyarakat berpenghasilan rendah menerima beban paling berat, namun punya akses mitigasi yang terbatas,” katanya.
Kota yang Membesar, Ruang Hijau yang Mengecil
Dari sisi tata kota, akademisi teknik lingkungan Hernani Yulinawati menambahkan bahwa polusi di Jakarta bukan hanya soal emisi kendaraan. Ia menyinggung perembetan kota atau urban sprawl yang terus menjauhkan warga dari ruang terbuka hijau (RTH).
“Kita kehilangan banyak ruang penyangga. Kota meluas, tetapi paru-paru kota justru menyempit,” kata Hernani. Ia menyebut RTH sebagai komponen kecil yang punya dampak besar dalam menyaring udara dan menstabilkan suhu.
Harits Kamaaluddin, pendiri komunitas Menemukenali, menutup sesi diskusi dengan perspektif yang lebih dekat ke keseharian. Menurutnya, perubahan bisa dimulai dari kebiasaan: memilih angkutan umum, memantau kualitas udara, hingga menjaga nutrisi tubuh.
“Masyarakat bukan objek, tetapi aktor perubahan. Kita tidak bisa selalu menunggu kebijakan,” ujarnya.
Dari Jalan Kendal, Sebuah Seruan Visual
Jika diskusi menggerakkan melalui kata, Kampanye Instalasi “Langit (Seharusnya) Biru” di Jalan Kendal mencoba menyentuh lewat rasa. Di antara lalu lintas pejalan kaki Stasiun Dukuh Atas, sebuah instalasi besar menampilkan langit gelap yang perlahan berubah menjadi biru — warna yang kini terasa seperti kemewahan.
Wisya Aulia Prayudi, Project Lead for Air Pollution Campaign CISDI, berharap visual itu menjadi jeda bagi siapa saja yang melintas.
“Kesadaran publik terkait dampak polusi udara masih rendah. Banyak yang sudah tahu kualitas udara buruk, tetapi sedikit yang melindungi diri secara memadai,” kata Wisya. “Instalasi ini ingin mengingatkan bahwa langit biru adalah hak semua orang.”
Di bagian dalam instalasi, potongan pikiran warga tentang udara kotor—mulai dari sesak nafas hingga aktivitas terganggu—dipajang seperti cermin yang memaksa orang membaca ulang rutinitasnya sendiri.
Seruan Bersama untuk Kota yang Lebih Sehat
Bagi CISDI, kampanye ini bukan perayaan satu hari, melainkan awal dari kerja bersama. Polusi udara dianggap sebagai masalah kota yang sangat dekat, tetapi sering tak dinilai darurat.
“Kita mulai dari kesadaran, lalu melindungi diri, dan selanjutnya menyerukan perubahan,” ungkap tim CISDI dalam penutup acara.
Di tengah langit Jakarta yang belum pulih, seruan itu mungkin tidak langsung mengusir debu. Namun bagi banyak peserta, akhir pekan ini setidaknya menawarkan sesuatu yang mulai langka: harapan bahwa suatu hari, warna biru itu bisa kembali.






