Nasional

Dapur MBG Ditertibkan, Tapi ‘Dapur’ BGN Bocor, IAW Tantang BGN Bicara Jujur

×

Dapur MBG Ditertibkan, Tapi ‘Dapur’ BGN Bocor, IAW Tantang BGN Bicara Jujur

Sebarkan artikel ini

Indonesian Audit Watch (IAW) berikan kritik tentang program MBG yang tidak beres

Para pekerja sedang menyiapkan makan MBG untuk anak sekolah Foto: Istimewa

SinarHarapan.id- Di banyak dapur penyedia Program Makan Bergizi Gratis (MBG), aroma kegiatan besar negara itu belum seragam.

Ada dapur yang tertib dan higienis, ada yang masih berjuang mengejar sertifikasi, dan ada pula yang terhenti karena kekurangan fasilitas.

Ketimpangan yang tampak di lapangan ini kontras dengan ambisi program MBG yang digadang-gadang sebagai tonggak percepatan penanganan gizi nasional di era Presiden Prabowo Subianto.

Namun, di tengah dorongan Badan Gizi Nasional (BGN) agar penyedia MBG disiplin memenuhi standar, kritik justru mengarah balik kepada lembaga itu sendiri:

Apakah BGN sudah cukup rapi, transparan dan sah secara regulasi ketika menegakkan aturan?

Salah satu kritik itu hadir saat Wakil Ketua (Waka) BGN, Nanik S. Deyang memberi peringatan kepada mitra, yayasan dan Kepala SPPG yang dianggap tidak menjaga kelayakan dapur.
“Sudah dapat insentif Rp6 juta per hari kok malah ongkang-ongkang. Blender rusak nggak mau ganti,” ujar Nanik saat pengarahan pada Koordinasi dan Evaluasi Program MBG di Cirebon, Minggu (7/12),

Ia menegaskan insentif fasilitas SPPG Rp6 juta per hari operasional dapat dipotong bila standar tidak dipenuhi. Penilaian, sebutnya, dilakukan oleh appraisal independen.

Untuk diketahui, syarat minimal SPPG mencakup:
1. Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS)
2. Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
3. Sertifikasi Halal
4. Pelatihan penjamah makanan.

Logo BGN
Foto: Istimewa

SPPG akan diperintahkan suspend bila tidak mengurus sertifikat dalam 30 hari.

Keteraturan dapur mitra ini menjadi tuntutan wajib. Namun yang jadi pertanyaan, apakah sistem internal BGN sendiri sudah lebih siap, lebih steril, dan lebih konsisten daripada dapur yang mereka nilai?

Hal inilah yang dilihat Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus menjadi sebuah pertanyaan besar.

Baginya, ketegasan BGN kepada mitra dapur terasa kontras dengan minimnya evaluasi atas kelemahan internal mereka sendiri.
“Ketika dapur orang lain ribut, BGN paling ribut. Tetapi ketika dapur sendiri bocor, semua mendadak diam. Mengapa?” tanya Iskandar di Jakarta, Selasa (9/12).

Kritik ini beresonansi, imbuh Iskandar, karena publik melihat pola dimana BGN bergerak cepat ketika kesalahan ada pada SPPG, daerah atau penyedia logistik.
“Namun ketika persoalan muncul dari regulasi internal, portal digital, atau kebijakan yang meragukan legalitasnya hening,” ujarnya.

Dilanjutkannya, BGN dibentuk melalui Perpres 55/2025 untuk mengawal MBG yang merupakan program masif, sensitif, dan berbiaya besar.

Tupoksi BGN sendiri luas seperti penyusunan kebijakan gizi nasional, standarisasi menu dan kualitas pangan, koordinasi antar kementerian, pengawasan SPPG dan distribusi pangan serta pembinaan daerah dan mitra.

Namun IAW menilai organisasi yang baru terbentuk ini seperti berlari lebih cepat daripada sistem internalnya sendiri.
“Kelemahan struktural yang belum dibereskan justru berpotensi menimbulkan risiko hukum dan audit yang serius,” ucap Iskandar.

IAW sendiri dalam laporan akhir tahunnya mencatat serangkaian masalah administratif terkait pengelolaan MBG oleh BGN yaitu:

1. Tata naskah internal tidak sesuai pedoman kementerian dan tidak sinkron dengan standar nasional seperti Permen PPPA No. 10/2020.
2. Penandatanganan surat dan instruksi teknis tidak seragam yang mengakibatkan potensi mal administrasi.
3. Portal digital MBG tidak transparan.

Semua itu, ujar Iskandar, bukan temuan BPK, tetapi pada pola yang sama, BGN punya kecenderungan
“memerintah dulu, audit belakangan”.

Ketika surat-surat teknis dikeluarkan tanpa sinkronisasi hukum, risiko audit akan meledak. Kekacauan administrasi adalah pintu masuk temuan BPK menjadi ketidakpatuhan peraturan, kelemahan SPI, potensi kerugian negara karena keputusan yang tidak sah.
“Dan bom waktu sesungguhnya: tindakan ultra vires dalam penetapan varian susu,” ungkap Iskandar.

Inilah yang dikatakannya bakal menjadi titik paling berbahaya bagi reputasi BGN dan MBG.

Ketika BGN menetapkan hanya satu varian susu sebagai standar (misalnya full cream), dan menyingkirkan produk lain yang telah mendapatkan izin edar BPOM, maka BGN telah melakukan tindakan ultra vires, yakni bertindak melampaui kewenangan yang diberikan.

Iskandar menyebut, Undang-Undang (UU) yang dilanggar adalah:

1. UU 18/2012 tentang Pangan, sebab BPOM adalah satu-satunya otoritas menetapkan keamanan dan mutu pangan olahan. Produk berizin BPOM tidak bisa dilarang oleh lembaga lain tanpa alasan hukum.
2. UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dimana keputusan yang melampaui wewenang dapat dibatalkan.
3. Prinsip pengadaan pemerintah (efisiensi, non-diskriminasi, dimana membatasi produk sah membuka risiko gugatan dan dugaan penggiringan.

Kenapa BGN seperti tidak takut?
Hal ini, menurut analisis IAW lantaran tidak ada yang mengoreksi. Dan selama ini, BGN dikenal sangat keras ketika menilai kesalahan pihak lain. Ketika ada dapur SPPG yang menyebabkan keracunan, maka BGN cepat bicara.

Ketika ada daerah yang salah kelola logistik, BGN bergerak cepat. Ketika ada penyedia yang terlambat distribusi, lalu BGN keluarkan rekomendasi sanksi.
“Tetapi ketika kesalahan itu berasal dari Juknis, portal, kuota, atau pejabat internal? Hening. Sunyi. Tidak ada konferensi pers. Inilah ironi yang harus kita kritisi,” tandas Iskandar.

Publik sendiri telah melaporkan berbagai fenomena seperti portal tidak transparan, kuota penuh tapi tidak jelas kapan dan oleh siapa diisi, rollback pesanan tanpa pemberitahuan dan SPPG yang nilai akhirnya berubah tanpa penjelasan.

Anak sekolah tunjukkan menu MBG
Foto: Istimewa

Hal ini dilihat IAW bukan sekadar gangguan teknis. Ini indikator kelemahan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP).
“Ini jenis kelemahan yang paling sering menjadi temuan BPK,” ungkap Iskandar seraya menegaskan jika tidak diperbaiki, maka tahun depan, LHP BPK bisa sangat keras untuk BGN.

IAW menilai program sebesar ini seharusnya memiliki SOP keamanan makanan, SOP uji sampel, SOP kontrol kualitas, SOP akreditasi penyedia, SOP pelaporan insiden keracunan, SOP investigasi independen dan SOP penanganan keluhan publik.

‘Apakah semuanya sudah ada? Apakah sudah berlaku? Apakah SPPG pernah membaca? Jika jawabannya “belum sepenuhnya” atau “masih disusun”, maka segala pujian di tahun ini bisa berubah menjadi temuan BPK tahun depan,” ujar Iskandar.

IAW juga mempertanyakan, mengapa tidak ada sistem penghargaan bagi SPPG yang zero keracunan? Mengapa tidak ada reward bagi daerah yang melapor jujur adanya penyimpangan? Mengapa sistem hanya mengenal punishment, bukan insentif?

Pertanyaan ini didasarkan pada alasan jika program ini berbasis kepercayaan publik memerlukan mekanisme penghargaan. Tanpanya, seluruh ekosistem hanya akan bekerja dengan rasa takut.

Dalam pengadaan pemerintah, kegelapan bukanlah sekadar masalah administrasi. Itu adalah ruang subur bagi kolusi, mark-up, dan monopoli terselubung.
“BPK mungkin belum masuk. Tapi ketika masuk, pola seperti ini jarang sekali tidak menjadi temuan,” ucap Iskandar.

IAW pun mendesak harus ada koreksi kewenangan hukum dengan merevisi semua regulasi internal yang membatasi produk berizin BPOM. Legislatif review bersama BPOM dan Kemenkumham harusnya segera dilakukan.

Lalu, membangun transparansi dengan meluncurkan dashboard MBG real-time. Publikasikan daftar penyedia dan status distribusi. Terapkan keterbukaan informasi publik sebagai standar, bukan pengecualian.

Kemudian memperkuat SPIP dengan membentuk Satgas Audit Internal Khusus MBG. Dokumentasikan seluruh proses pengadaan dan distribusi end-to-end.
“Tegakkan sanksi dan reward dengan menerapkan sanksi jelas untuk pelanggaran serta berikan reward untuk SPPG zero keracunan dan pelapor penyimpangan,” tandas Iskandar.

IAW juga meminta Kepala BGN, Dadan Hindayana segera secara ideal memikirkan program MBG agar bisa menjadi warisan baik dalam sejarah pembangunan manusia Indonesia.
“Tapi, tanpa pembenahan internal termasuk memilih pemimpin yang tepat bisa mengubah hal ini menjadi kasus besar di ruang audit dan ruang pengadilan. Mari kita benarkan yang salah sebelum negara yang meluruskan dengan keras!” tandas Iskandar.