Otomotif

Indonesia Memasuki Fase Baru Adopsi Mobil Listrik

×

Indonesia Memasuki Fase Baru Adopsi Mobil Listrik

Sebarkan artikel ini

Keselarasan kebijakan, strategi industri, dan edukasi publik jadi kunci percepatan

Foto bersama para narasumber dan tamu undangan dalam Peluncuran Hasil Riset EV oleh ID COMM "Menuju Era Mobil Listrik: Sejauh Mana Indonesia Siap?" (11/12) di Jakarta. Riset perdana ID COMM ini didukung oleh dataxetsonar.

SinarHarapan.id – Indonesia memasuki fase penting dalam percepatan adopsi mobil listrik. Dalam tiga tahun terakhir, pasar kendaraan listrik tumbuh pesat, tetapi masih terkonsentrasi di kelompok menengah atas urban dan belum menjangkau pengguna massal. Temuan tersebut disampaikan ID COMM melalui riset bertajuk “Menuju Era Mobil Listrik: Sejauh Mana Indonesia Siap” yang diluncurkan di Jakarta, Kamis (11/12).

Laporan ini disusun melalui wawancara dengan konsumen, pelaku industri, serta pemetaan kebijakan dan pemberitaan media. Riset memotret dinamika adopsi kendaraan listrik, tantangan ekosistem, serta rekomendasi bagi pemangku kepentingan pemerintah, industri, dan media.

Baca Juga: Toyota Perkuat Strategi Elektrifikasi, Luncurkan Veloz Hybrid dan Dua Mobil Listrik Produksi Lokal

Pertumbuhan Pesat, tetapi Belum Inklusif

Data GAIKINDO menunjukkan peningkatan signifikan penjualan Battery Electric Vehicle (BEV):

  • 2023: 15.318 unit

  • 2024: 43.188 unit

  • Jan–Agustus 2025: 51.191 unit

Total penjualan mobil listrik sejak 2023 telah melampaui 100.000 unit, sementara pemerintah menargetkan 2 juta unit populasi pada 2030.

Namun, menurut ID COMM, pertumbuhan tersebut lebih mencerminkan perpindahan dari kendaraan bermesin bakar (ICE) daripada penambahan basis pengguna baru. Fenomena kanibalisme pasar ini terjadi ketika lonjakan BEV terjadi bersamaan dengan penurunan penjualan mobil nasional.

“Transisi ini lebih menunjukkan pergeseran perilaku konsumen, bukan perluasan pasar baru,” ujar Asti Putri, Co-Founder dan Director ID COMM.

Kebijakan: Dari Perintisan Menuju Penguatan Ekosistem

Sejak lahirnya Perpres 55/2019, pemerintah mulai menata regulasi kendaraan listrik dari berbagai sisi:

  • insentif fiskal,

  • percepatan pembangunan SPKLU,

  • dukungan industri komponen,

  • penataan daur ulang baterai,

  • hingga standardisasi teknis.

Riset ID COMM memperlihatkan bahwa kebijakan menjadi simpul penting yang menghubungkan pemerintah, industri, dan masyarakat. Namun efektivitasnya masih dipengaruhi konsistensi implementasi serta koordinasi lintas kementerian.

Ekosistem hulu–hilir dinilai belum sepenuhnya solid, terutama terkait:

  • kepastian insentif jangka panjang,

  • pemerataan SPKLU di luar Jabodetabek,

  • standar teknis dan kualitas layanan pengisian,

  • kesiapan rantai pasok dan TKDN komponen.

Konsumen: Motif Ekonomi Masih Dominan

Riset menunjukkan bahwa alasan utama konsumen beralih ke mobil listrik adalah efisiensi biaya.
Pemilik BEV dapat menekan biaya operasional hingga ¼ dari biaya mobil bensin, sementara pajak tahunan rata-rata hanya sekitar Rp150.000.

Selain itu, konsumen BEV menikmati status early adopter. Identitas sebagai pengguna teknologi baru memberikan nilai psikologis tersendiri. Sementara faktor lingkungan dinilai penting, tetapi bukan pendorong utama.

Ciri umum konsumen BEV saat ini:

  • Sudah memiliki mobil ICE sebelumnya.

  • Membeli BEV sebagai mobil kedua.

  • Berasal dari kelas menengah atas di kota besar, terutama Jabodetabek.

  • Mayoritas berada pada tiga segmen usia:

    1. 25–35 tahun (early career),

    2. 36–50 tahun (keluarga mapan),

    3. 50+ tahun (pensiun awal).

Proses pembelian dipengaruhi media sosial, komunitas, influencer otomotif, hingga diskusi keluarga. Keputusan final sering dipicu pengalaman langsung melalui test drive.

Meski demikian, range anxiety dan ketergantungan pada home charging masih menjadi pertimbangan utama.

Industri: Antara Peluang dan Ketidakpastian

Dalam tiga tahun terakhir, industri mobil listrik memasuki fase perang harga dan performa. Produsen asal Tiongkok menjadi pemain paling agresif dengan efisiensi rantai pasok yang tinggi.

Namun banyak pelaku industri masih berada dalam fase “wait and see”, menunggu kepastian insentif jangka panjang dan kepastian arah kebijakan. Tantangan utama yang dihadapi industri meliputi:

  • tekanan margin akibat penurunan harga,

  • siklus model kendaraan yang semakin pendek,

  • kapasitas SPKLU yang belum merata,

  • ketidakpastian regulasi,

  • pasar yang belum inklusif.

Ekosistem purna jual juga dinilai masih dalam tahap learning curve — mulai dari teknisi, standar servis, hingga distribusi suku cadang.

Media: Penjaga Narasi dan Literasi Publik

ID COMM menilai media memiliki peran krusial dalam menjaga keseimbangan narasi terkait mobil listrik. Lanskap informasi yang makin terfragmentasi oleh influencer dan komunitas membuat media arus utama menjadi rujukan penting bagi edukasi publik.

Menurut Claudius Surya, Research Associate ID COMM, narasi media tidak hanya perlu menyoroti kemajuan teknologi, tetapi juga risiko, konteks kebijakan, keamanan, serta literasi penggunaan.

Media berperan sebagai:

  • translator, menerjemahkan kebijakan teknis agar mudah dipahami publik;

  • mediator, menjembatani pemerintah, industri, dan konsumen;

  • penjaga keandalan informasi, di tengah derasnya promosi di ruang digital.

Kunci Transisi: Sinkronisasi Tiga Pilar

Riset ID COMM menunjukkan bahwa Indonesia membutuhkan sinkronisasi tiga pilar utama untuk masuk fase early majority dalam adopsi mobil listrik:

  1. Kebijakan yang konsisten dan terukur, termasuk peta jalan EV hingga 2030.

  2. Industri yang siap berinvestasi jangka panjang dan mengembangkan produk lebih terjangkau.

  3. Konsumen yang teredukasi, didukung kualitas SPKLU dan purna jual yang mumpuni.

“Perjalanan menuju elektrifikasi membutuhkan strategi yang selaras antara pemerintah, industri, dan publik,” ujar Sari Soegondo, Co-Founder & Executive Director ID COMM.