SinarHarapan.id – Matahari pagi sudah menerangi kota saat walikota Gorontalo Marten Taha bersama rombongan tiba di perempatan dekat Masjid Baiturrahim. Bersama walikota terdapat Tuan Kadhi KH Rasyid Kamaru, pemagku adat (baate), mayulu (mayor), saradaa dan ketua Lembaga adat Gorontalo.
Kedatangan rombongan walikota yang akan salat Idulfitri pada Sabtu (22/4/2023) lalu disambut suara genderang adat (hantalo lo ulipu) yang ditabuh oleh Yunus Tumu (65) yang berjuluk Ti Hantalo.
Abdullah Paneo, Ketua Lembaga Adat Gorontalo menjelaskan Gorontalo sebagai salah daerah adat di Indonesia hingga kini masih mempertahankan warisan tradisi leluhur. Seperti yang dilakukan pada Sabtu pagi saat walikota Gorontalo akan menunaikan salat Idulfitri.
“Penyambutan genderang ini merupakan bagian dari prosesi adat tradisi dalam shalat Idulfitri,” kata Abdullah Paneo, Ketua Lembaga Adat Gorontalo, Senin (24/4/2023).
Abdullah Paneo menambahkan, prosesi dimulai sejak di Yiladia lo ulipu atau rumah dinas walikota. Sebagai kepala daerah, walikota dalam posisi adat dinamakan tauwa lo lipu atau pemimpin negeri. Sehingga keberadaan tauwa ini dianggap sebagai khalifah atau sultan. Para perangkat adat akan memperlakukan dengan cara-cara yang sudah ditentukan oleh aturan adat Gorontalo, sejak dulu hingga sekarang.
Penjemputan walikota ini dilakukan oleh sejumlah perangkat adat menuju masjid Baiturrahim. Masjid tua yang ada sejak masa kerajaan Gorontalo, telah mengalami banyak renovasi dan perubahan. Namun yang tidak berubah adalah tempat dan semangatnya.
Suara genderang adat tiba-tiba menyentak di keheningan pagi, mengagetkan Jemaah idulfitrri yang sejak pagi sudah di masjid. Yunus Tumu yang renta tetap bersemangat memukul hantalo ini. Suaranya mengiringi langkah rombongan tauwa lo lipu menuju masjid. Semua orang menatap prosesi ini.
Baju para pengiring terlihat menyolok sesuai dengan jabatannya. Tua Kadhi dengan jubah hitam dan surban kemasan yang melilit ikat kepalanya. Saradaa dengan baju putih lengan panjang celana hitam dan mengenakan rompi hitam serta topi berbentuk tabung warna merah yang bagain atasnya terdapat kucir, juga ada baate yang mengenakan baju khas dengan payungo (penutup kepala lelaki Gorontalo) di kepalanya, sementara mayulu atau mayor berbaju adat hitam-hitam terlihat berwibawa.
Langkah-langkah mereka menjadi atraksi tesendiri pada salat Idulfitri ini, inilah tradisi Gorontalo yang masih lestari.
Yunus Tumu yang mulai renta ini tetap memukul sambil mengarahkan langkah rombongan tauwa lo lipu memasuki halaman dan menuju ruang dalam masjid. Saat rombongan masuk masjid, Yunus Tumu Cuma sampai di pintu utama. Ia letakkan hantalo di depannya, sarung yang melingkari pinggangnya dilepas lalu digelar sebagai alas shalatnya. Tugasnya sudah selesai.
Namun tidak dengan perangkat adat yang lain, imamu, para baate, mayulu, kadhi, syaradaa terus menuju depan mihrab masjid yang megah ini.
Baate memiliki tugas mengatur tempat duduk rombongan tauwa lo lipu, posisi pejabat harus benar sesuai dengan strukturnya.
“Mayulu atau dalam bahasa saat ini adalah mayor, bertugas sebagai kepala keamanan. Ia mengenakan baju serba hitam, mengenakan payungo. Ia berugas menerima tamu-tamu negeri yang ikut salat Idul Fitri di sini,” kata KH Rasyid Kamaru Tuan Kadhi Masjid Baiturrahim.
KH Rasyid Kamaru adalah seorang hakim yang bertugas membuat keputusan berdasarkan syariat agama Islam. Kadhi harus menguasai dan memahami Alquran dan sunah Rasulullah.
Saat semua sudah siap, syaradaa momaklumu atau mengumumkan shalat Idul Fitri siap dilaksanakan. Tata cara pelaksanaan shalat juga disampaikan hingga selesai. Prosesi ini dilakukan oleh Hamzah Igirisa (75) sebagai syaradaa dengan menggunakan Bahasa Gorontalo melalui pelantang, sehingga jemaah yang berada di luas masjid akan mendengarkan.
“Syaradaa itu wakil imam, fungsinya membantu tugas-tugas imam,” ujar KH Rasyid Kamaru.
Hamzah Igirisa menjadi syarada sejak tahun 1987, pria ini mengerjakan tugasnya berdasarkan penunjukan oleh Bagian Kesejahteraan rakyat (Kesra) Pemerintah kota Gorontalo.
Yang menarik adalah, syaradaa ini mengenakan jubah Panjang berwarna putih dengan rompi hitam. Sebuah topi menyerupai tabung berwarna merah ia kenakan, di bagian atas tengah terdapat kucir panjang yang menjuntai.
Saat semua sudah siap, shalat segerta dimulai. Shalat dipimpin oleh imam Warna Polalo dan khutbah disampaikan oleh Ibrahim T Sore.
Dalam khutbahnya Ibrahim T Sore mengajak jemaah untuk meneruskan puasa di bulan Syawal agar memperoleh pahala sepanjang tahun.
“Nilai-nilai dalam Ramadhan harus tetap dipertahankan, suasana relijius diteruskan di rumah dan lingkungan tempat tinggal meskipun Ramadhan telah berakhir,” ujar Ibrahim T Sore.
Ia juga meminta masyarakat untuk terus mampu mengendalikan diri sepertis aat berpuasa, pengendalian diri ini dianggap sebagai kunci keberhasilan dalam penataan kehidupan sosial kemasyarakatan.
“Jaga selalu ukhuwah insaniyah (persaudaraan dalam kemanusiaan), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan dalam kebangsaan), ukhuwah Islamiyah (persaudaraan dalam keislaman),” tutur Ibrahim T Sore.
Usai shalat Idul Fitri, para pembesar negeri tidak langsung pulang meskipun Jemaah sudah membubarkan diri. Tauwa lo lipu dan bersama perangkat adat kemudian menggelar dua lo lipu atau doa untuk negeri yang dipimpin oleh Tuan Kadhi KH Rsyim Kamaru.
“Dua lo lipu ini dilaksanakan Untuk meningkatkan kenyamanan dan kerukunan masyarakat dan negeri ini. Juga untuk mengharapkan rida dan ampunan Allah SWT,” ujar KH Rasyid Kamaru.
Usai berdoa kegiatan selesai, masing-masing perangkat adat dan pimpinan daerah bisa meninggalkan masjid. (atp/infopublik)