SinarHarapan.id – Indonesia adalah bangsa yang besar dan dapat menaungi beragamnya perbedaan didalamnya dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Keberagaman bangsa Indonesia ini dapat tetap terjaga dari masa ke masa karena ditopang oleh suatu pilar yang bernama toleransi. Tanpanya, mungkin saat ini Indonesia sudah jatuh dalam jebakan homogenisasi dan menjadi bangsa yang didera konflik berkepanjangan.
Akademisi dari Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Alamsyah M. Djafar mengatakan, nilai toleransi punya akar yang kuat dari jati diri bangsa Indonesia.
“Dalam konteks nilai Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi kebanggaan Indonesia, toleransi bisa dimaknai sebagai segala tindakan untuk menghormati dan menghargai hak-hak kelompok yang berbeda, baik secara agama, keyakinan, bahasa, etnis, jenis kelamin, pandangan politik, dan lain sebagainya,” ujar Alamsyah di Jakarta, Kamis (21/9/2023).
Ia menambahkan, bahkan ketika seseorang dianggap berbeda dari kebanyakan orang, seluruh warga negara seharusnya tetap mendapatkan hak-hak mereka seperti yang telah dijamin pada UUD 1945.
Dalam UUD 1945 disebutkan lebih dari 40 hak warga negara seperti hak mendapatkan informasi, tidak diperlakukan diskriminatif, hak menjalankan agama dan keyakinan, hak mendapat pekerjaan, serta masih banyak lagi.
Menurutnya, penghormatan dan penghargaan dalam nilai toleransi itu dapat diterjemahkan salah satunya dengan tidak menghalangi-halangi orang lain dalam menjalankan hak dan kewajiban sebagai warga negara Indonesia.
“Sebagai contoh, bersikap toleran terhadap orang yang berbeda agama dan keyakinan dapat diwujudkan dalam bentuk tidak melarang mereka untuk bisa menjadi guru di sekolah negeri. Sebab, hal tersebut adalah salah satu hak yang dijamin dalam UUD 1945. Toleransi juga dapat dimaknai secara aktif, yaitu dengan ikut memperjuangkan hak-hak mereka yang belum terpenuhi,” terang Alamsyah.
Ia menilai, kesetaraan hak yang diperjuangkan adalah yang tidak bertentangan dengan hukum dan norma yang berlaku di Indonesia. Sejatinya, terpenuhinya kesetaraan hak orang atau kelompok tertentu tidak akan pernah merugikan atau mengurangi hak dari pihak lainnya.
Peneliti yang aktif menyoroti isu toleransi dan perdamaian ini menyatakan, masyarakat Indonesia sering menyamakan toleransi dengan permisivisme, yaitu membolehkan atau menyamakan segala hal.
“Padahal, toleransi tidak berarti toleran terhadap tindakan yang melanggar peraturan atau hukum yang berlaku, contohnya mentoleransi tindakan atau ujaran kebencian. Sikap toleransi seharusnya dimaknai dengan walaupun kita tidak setuju dengan pandangan tertentu, namun kita dapat menghargai pandangan yang berbeda tersebut,” tutur Alamsyah.
Secara umum, lanjutnya, sudah bisa dilihat beberapa upaya dari pemerintah dan swasta untuk menjembatani berbagai perbedaan di masyarakat Indonesia. Upaya ini ditunjukkan dengan semakin banyaknya kegiatan yang memfasilitasi pertemuan antar kelompok masyarakat agar terjalin dialog yang dapat meneduhkan dan memupuk kerukunan.
“Jika melihat program-program yang dilakukan organisasi masyarakat sipil, khususnya dialog-dialog untuk membangun toleransi, maka saat ini sudah berkembang dari sisi kreativitas penyelenggaraannya. Misalnya ada kegiatan membangun toleransi lintas iman dan budaya dengan cara berpetualang ke daerah-daerah tertentu, mengunjungi rumah ibadah, museum, dan mengadakan dialog yang lebih jujur di antara para peserta. Kementerian dan lembaga pemerintahan juga sudah mulai memfasilitasi dialog dan program inovatif dalam rangka melestarikan semangat toleransi,” jelas Alamsyah.
Alamsyah berharap agar toleransi terhadap berbagai keragaman yang ada tertanam pada generasi muda Indonesia. Sebagai suatu bangsa, Indonesia punya modal besar dalam konteks ini.
“Kita menghadapi bonus demografi yang tidak hanya mendapatkan surplus secara kuantitas, namun juga meningkat secara kualitas bila dibandingkan dengan generasi sebelumnya.”
Ia mengungkapkan, generasi muda saat ini telah mendapatkan pendidikan yang lebih baik melalui lembaga pendidikan dalam dan luar negeri. Walaupun begitu, Indonesia sebagai bangsa yang luhur masih menghadapi tantangan maraknya ujaran kebencian yang menyasar kalangan muda. Tidak jarang beberapa dari remaja Indonesia yang turut menjadi pelaku penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian.
“Kita perlu mengembangkan strategi yang inovatif dan sesuai dengan sasaran demi tercapainya kesadaran bersama akan bahayanya intoleransi dengan berbagai bentuknya. Salah satu caranya bisa melalui pendekatan mental health yang menjadi salah satu isu populer generasi muda Indonesia saat ini. Kita juga bisa kembangkan program penanaman toleransi yang lebih informal dan santai, serta melalui sarana pendidikan formal mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi,” tandas Alamsyah. (non)