SinarHarapan.id – Amnesty International Indonesia menilai Presiden Joko Widodo setengah hati dalam penyelesaian non yudisial kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
“Kick off resolusi non-yudisial atas pelanggaran HAM berat masa lalu hari ini hanyalah kick off proses reparasi parsial yang setengah hati. Jelas itu tidak menghapuskan kewajiban negara untuk memenuhi hak korban atas kebenaran maupun hak mereka memperoleh reparasi penuh dan efektif atas penderitaan yang mereka alami,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.
Jangan sampai negara hanya mengedepankan penyelesaian non-yudisial, apalagi parsial, namun melalaikan komitmen untuk mengungkap tabir kejahatan itu, dan menghukum pelakunya secara setimpal. Indonesia adalah negara hukum. Aneh jika kepala negara justru menghindari penegakan hukum dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat.”
“Presiden Joko Widodo Januari lalu mengakui 12 pelanggaran HAM berat dan berjanji memulihkan hak-hak korban ‘tanpa menegasikan penyelesaian yudisial.’ Seharusnya di saat bersamaan, Presiden memastikan Jaksa Agung bergerak mencari bukti dan memulai penyidikan.”
“Kunjungan Presiden ke Rumoh Geudong seharusnya menjadi momen menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu secara menyeluruh. Menegakkan hukum adalah amanat para pendiri bangsa dan UUD 1945. Selaku kepala negara, Presiden tidak perlu ragu untuk melawan impunitas demi memperbaiki kondisi hak asasi manusia di seluruh Indonesia.”
Presiden Joko Widodo meresmikan dimulainya (kick off) penyelesaian non yudisial pelanggaran HAM berat, di Rumoh Geudong, Kabupaten Pidie, Aceh, Selasa (27/6). Tempat itu dulu menjadi lokasi pelanggaran HAM berat semasa Aceh dalam status Daerah Operasi Militer (DOM) pada 1989-1998.
Presiden Jokowi mengatakan acara ini untuk memulihkan luka bangsa akibat pelanggaran HAM berat masa lalu yang meninggalkan beban yang berat bagi para korban dan keluarga korban.
Sebelumnya, Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan bahwa upaya penyelesaian non-yudisial bagi korban-korban pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu, di antaranya terdiri atas pemberian jaminan kesehatan, rehabilitasi rumah, pembangunan rumah ibadah, peningkatan ketrampilan, pendampingan ekonomi, serta pemulihan hak warga eksil.
Melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023, Presiden memerintahkan kepada 19 menteri dan pejabat setingkat menteri untuk mengambil langkah-langkah secara terkoordinasi dan terintegrasi guna melaksanakan rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan penyelesaian non-yudisial ini menitikberatkan kepada korban dan bukan pelaku.
Penanganan non-yudisial ini juga hanya terfokus pada korban 12 kasus pelanggaran HAM berat yang diakui pemerintah berdasarkan temuan Komnas HAM, yaitu Peristiwa 1965-1966.
Lalu, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985; Peristiwa Talangsari, Lampung 1989; Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989 dan Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998; Peristiwa Kerusuhan Mei 1998.
Juga Peristiwa Trisakti dan Semanggi I – II 1998-1999; Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999; Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999; Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002 serta Peristiwa Wamena, Papua 2003 dan Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
Dengan demikian, kasus-kasus lainnya seperti pelanggaran yang dilakukan selama operasi militer di Timor Timur, tragedi Tanjung Priok 1984, peristiwa penyerangan 27 Juli 1996, dan kasus pembunuhan Munir 2004 tidak termasuk kasus yang diakui dan ditangani.
Para pegiat HAM mengkritik belum semua orang yang ditetapkan Komnas HAM sebagai korban pelanggaran HAM masuk dalam daftar penerima restitusi negara, di antaranya korban kasus Simpang KAA di Aceh yang terjadi pada 3 Mei 1999.
Tim penyelesaian non-yudisial menetapkan hanya 10 korban kasus Simpang KAA yang akan mendapat ganti rugi, padahal Komnas HAM mencatat ada 33 korban dalam laporannya ke Kejaksaan Agung. Apalagi menurut laporan media, para korban sendiri mengklaim ada 146 korban, 46 di antaranya masih hidup.
Keluarga korban dan aktivis hak asasi manusia juga mendesak pemerintah untuk memberikan formulasi yang jelas dalam memberikan kompensasi kepada korban dan keluarganya.
Kick off penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM masa lalu berlangsung di Rumoh Geudong, Pidie. Menurut laporan Komnas HAM tahun 2018, Rumah tersebut dijadikan tempat penyiksaan warga sipil yang dituduh berafiliasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) saat Provinsi Aceh berstatus Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 1989-1998. Rumah itu dibakar oleh massa pada tahun 1998 karena takut akan digunakan sebagai rumah jagal lagi.
Pemerintah Kabupaten Pidie merobohkan sisa tembok bangunan bersejarah untuk persiapan acara kick off, tinggal menyisakan sumur dan tangga beton di dekat rumah yang dihancurkan. Menurut laporan media, pemerintah setempat tidak ingin generasi berikutnya sedih dengan kenangan masa lalu.
Pada acara kick off, Menkopolhukam mengatakan pemerintah akan membangun masjid dan taman living park di lokasi yang dibongkar, yang diklaimnya atas permintaan masyarakat Aceh dan keluarga korban, dan tetap mempertahankan sumur dan tangga di Rumoh Geudong sebagai pengingat akan tragedi tersebut.
Namun, pembongkaran itu dikritik keras para pegiat HAM yang mengatakan bahwa hal itu tidak hanya akan menghilangkan ingatan rakyat Aceh tentang kekejaman di tempat tersebut, tetapi juga menimbulkan pertanyaan apakah negara serius mengusut tuntas pelanggaran HAM berat di Rumoh Geudong, karena sisa-sisa bangunan yang roboh itu bisa menjadi bukti penting.