SinarHarapan.id, Jakarta-
Rancangan regulasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI yang akan mengatur penggunaan galon polikarbonat yang mengandung senyawa berbahaya, Bisphenol A (BPA) pada Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) masih disorot sejumlah kalangan.
Lontaran respon sebagian akademisi juga beragam, dengan melontarkan pembelaan bahwa galon BPA ‘aman.’
Salah seorang akademisi yang bersikukuh bahwa BPA ‘aman’ adalah pengajar biokimia Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor (IPB), Syaefudin, PhD. Ia berpendapat bahwa senyawa kimia BPA akan dikeluarkan lagi dari dalam tubuh orang yang tidak sengaja mengkonsumsinya melalui urin.
Namun, ia secara gamblang mengatakan setuju jika BPOM tetap melakukan pengawasan ketat terhadap konsentrasi BPA yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui air minum dalam kemasan galon plastik keras.
“Kita sebenarnya tidak tahu berapa konsentrasi BPA yang ada di sekeliling kita. Kalau tidak dibatasi, bisa saja ada yang nakal meningkatkan konsentrasi BPA,” katanya.
Syaefudin menyiratkan, bahwa senyawa BPA memang punya potensi bahaya bila tidak diawasi oleh lembaga yang punya otoritas seperti BPOM.
BPA dan PET
Sejauh ini, faktanya hanya segelintir negara berkembang yang masih belum mengatur ketat kemasan galon BPA dengan regulasi. Vietnam dan Indonesia adalah contoh yang segelintir itu.
Sementara, di negara maju kemasan plastik BPA sudah dilarang melalui regulasi; utamanya karena dinilai bisa memicu gangguan jantung, ginjal, kanker, gangguan hormon pada laki-laki dan perempuan, hingga gangguan mental pada anak.
Galon BPA —berkode plastik buncit, nomor 7. Selain sulit didaur ulang, juga sangat rentan terhadap gesekan dan sinar matahari dalam proses distribusinya dari pabrik hingga ke tangan konsumen, yang sangat berpotensi melepaskan senyawa BPA hingga menyebabkan air di dalam kemasan terkontaminasi.
Belum lagi tidak adanya kontrol terhadap galon BPA di pasaran yang sudah berusia di atas lima tahun, atau galon isi ulang yang dicuci dengan deterjen di pinggir jalan selama bertahun-tahun. Meski diklaim tahan panas, tidak ada juga yang mengontrol sejauh mana kontaminasi yang terus menerus terjadi pada air dalam kemasan galon BPA, baik karena kenaikan suhu temperatur maupun karena sebab lain seperti gesekan atau perlakukan saat pembersihan galon.
Galon BPA pastinya sangat berbeda dari plastik berbahan Polyethylene Terephthalate berkode plastik nomor 1, atau disingkat PET, yang dikenal relatif aman dan digunakan di seluruh dunia. Sebagai contoh, bahkan Jepang sudah beralih 100 persen ke plastik PET untuk kebutuhan kemasan di negeri itu.
Tapi, kenapa di Indonesia masih ada informasi keliru tentang galon PET? Alih-alih melihat PET sebagai alternatif yang lebih aman dibanding galon BPA, isu yang digulirkan kemudian justru beralih ke galon plastik PET sekali pakai yang justru relatif aman untuk kesehatan manusia.
Kesalahan berpikir ini diungkapkan oleh ahli teknologi polimer Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI), Assoc. Prof. Dr. Mochamad Chalid, S.Si., M.Sc. Eng. “Tipe masyarakat di Indonesia itu cenderung bersumbu pendek, yang langsung menggunakan informasi yang diterima tanpa pikir panjang.
Informasi dari youtube atau media sosial lainnya misalnya, bisa langsung dipercaya sebagai kebenaran. Di sisi lain, ada juga budaya paternalistik dengan kecenderungan lebih percaya kepada informasi dari orang atau institusi yang lebih berpengaruh. Lalu, ada pula peran pihak-pihak tertentu yang punya kepentingan,” tegas dari Tokyo, Jepang, kemarin.
Mengapa warga di negara maju lebih mudah memilih plastik PET untuk kemasan makan dan minuman yang paling dominan di negeri mereka? “Ada banyak pertimbangan, utamanya tentu pertimbangan teknologi. Tetapi, di samping itu, masyarakat di sana sudah terdidik dari awal, sehingga mereka sejak awal sudah sangat memahami kebijakan untuk memilih plastik PET,” katanya.
Amannya plastik PET bisa dilihat dari penggunaannya dalam skala masif di seluruh dunia. Termasuk oleh market leader pasar AMDK di Indonesia. Belum ada satupun negara di dunia ini yang melarang penggunaan plastik PET untuk kemasan air minum.
Lebih jauh, Mochamad Chalid mengatakan, sejauh riset yang ada sudah bisa dikonfirmasi bahwa, “tidak ditemukan pelepasan senyawa antimon berbahaya dalam kemasan plastik PET. Di sisi lain, juga belum ditemukan adanya indikasi munculnya endokrin disruptor (senyawa yang bisa mengganggu sistem hormon tubuh, seperti yang terkandung dalam plastik BPA) dalam penggunaan plastik PET,” katanya.
Berdasarkan data, keunggulan plastik PET bahkan didukung riset yang menegaskan botol plastik PET aman digunakan. Kesimpulan ini dipublikasikan Council of Scientific and Industrial Research-Central Food Technological Research Institute (CSIR-CFTRI), Mysore, India (The Hindu, 8/2019). Analisis CSIR-CFTRI menyimpulkan bahwa dipapar temperatur tinggi pun plastik PET tidak menyebabkan migrasi di dalam kemasan, semuanya masih di bawah batas deteksi (below detection limit). Batas ini juga masih di bawah regulasi Uni Eropa (UE) tentang “batas migrasi spesifik”, yang merupakan jumlah maksimum senyawa yang bisa bermigrasi dari kemasan ke dalam minuman di dalamnya. Secara keseluruhan, hasil riset ini menyimpulkan tidak ada senyawa kimia pada botol plastik PET yang melanggar batasan regulasi Uni Eropa.
Merujuk kembali penegasan BPOM, “Regulasi pelabelan ini semata untuk perlindungan kesehatan masyarakat,” tegas Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K. Lukito. Ia menjelaskan, regulasi pelabelan tersebut mengacu pada hasil kajian dan riset mutakhir di berbagai negara terkait risiko paparan BPA pada kesehatan publik.
“Semua kajian (scientific research) lebih kepada risiko yang sangat tinggi terhadap kesehatan akibat dari BPA,” katanya. Menurutnya, kehadiran pelabelan tersebut bisa memotivasi pelaku industri untuk berinovasi dalam menghadirkan kemasan air minum yang aman bagi masyarakat. “Dari sisi konsumen, pelabelan risiko BPA adalah hak masyarakat untuk teredukasi dan memilih apa yang aman untuk dikonsumsi,” tuturnya
Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Rita Endang juga menampik tudingan bahwa pelabelan BPA adalah vonis mati bagi industri air kemasan.
Menurutnya, pandangan tersebut keliru karena pelabelan risiko BPA pada dasarnya hanya menyasar produk air galon bermerek alias punya izin edar.
“Regulasi pelabelan BPA tidak menyasar industri depot air minum. Sejauh ini sudah ada 6.700 izin edar air kemasan yang dikeluarkan BPOM,” kata Rita.
Rita merinci, saat ini sekitar 50 juta lebih warga Indonesia sehari-harinya mengkonsumsi air kemasan bermerek. Dari total 21 miliar liter produksi industi air kemasan per tahunnya, 22 persen diantaranya beredar dalam bentuk galon isi ulang.
Dari yang terakhir, 96,4 persen berupa galon berbahan plastik keras polikarbonat. “Artinya 96,4 persen itu mengandung BPA. Hanya 3,6 persen yang PET (Polietilena tereftalat). Inilah alasan kenapa BPOM memprioritaskan pelabelan risiko BPA pada galon guna ulang,” katanya. (Van)