O P I N I
—————————
Oleh: Felia Agni Lestari
Kasus penganiayaan terhadap seorang mahasiswi di Palembang yang dilakukan oleh pacarnya hanya karena sambungan video call terputus kembali membuka mata publik tentang rapuhnya relasi romantis yang dibangun di atas kecemburuan dan kontrol berlebihan.
Peristiwa ini bukan sekadar cerita konflik personal, melainkan potret nyata kekerasan dalam hubungan pacaran yang masih sering dianggap remeh oleh masyarakat dan sayangnya, juga oleh media.
Dalam banyak pemberitaan media online, kekerasan pacaran kerap dibingkai sebagai insiden emosional sesaat atau luapan amarah akibat masalah komunikasi. Judul-judul sensasional yang menonjolkan penyebab sepele justru berpotensi mengaburkan akar persoalan yang lebih serius: relasi kuasa yang timpang, sikap posesif, dan normalisasi kekerasan dalam hubungan intim. Ketika media memilih fokus pada kronologi dramatis, publik diarahkan untuk melihat kekerasan sebagai “pertengkaran pasangan”, bukan sebagai bentuk kekerasan berbasis gender.
Padahal, kekerasan dalam pacaran memiliki dampak yang tidak kalah serius dibanding kekerasan dalam rumah tangga. Korban tidak hanya mengalami luka fisik, tetapi juga trauma psikologis, rasa takut, dan penurunan harga diri. Namun, karena relasi pacaran masih dipandang sebagai ranah privat, banyak korban memilih diam dan menanggung beban sendirian. Pemberitaan media yang tidak sensitif justru dapat memperparah situasi dengan memunculkan victim-blaming atau menganggap korban turut “memicu” kekerasan.
Di sinilah peran media menjadi krusial. Melalui teori agenda setting, kita memahami bahwa media tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga menentukan isu apa yang dianggap penting oleh publik. Ketika media secara konsisten memberitakan kekerasan pacaran sebagai konflik personal, masyarakat pun akan memaknainya demikian. Sebaliknya, jika media menempatkan kekerasan pacaran sebagai persoalan sosial dan hukum, publik akan terdorong untuk melihatnya sebagai masalah serius yang membutuhkan perhatian bersama.
Pemberitaan kasus di Palembang sebenarnya memiliki potensi besar untuk membangun kesadaran publik. Fakta bahwa kekerasan dipicu oleh kontrol berlebihan dalam komunikasi digital seharusnya menjadi pintu masuk bagi media untuk membahas relasi yang tidak sehat, tanda-tanda kekerasan dalam pacaran, serta pentingnya perlindungan korban. Sayangnya, potensi ini sering tereduksi oleh framing yang menekankan sensasi ketimbang edukasi.
Media online dengan jangkauan luas memiliki tanggung jawab moral untuk tidak sekadar “memberitakan”, tetapi juga mendidik. Pemberitaan yang sensitif gender bukan berarti memihak secara emosional, melainkan memahami konteks sosial di balik peristiwa. Menempatkan korban sebagai subjek yang harus dilindungi, bukan sekadar objek berita, adalah langkah awal yang penting.
Jika media terus gagal membingkai kekerasan pacaran secara utuh, maka media secara tidak langsung ikut melanggengkan budaya diam dan normalisasi kekerasan. Kekerasan tidak akan berhenti hanya karena dianggap masalah pribadi. Ia justru akan terus berulang ketika publik tidak diajak memahami akar persoalannya.
Sudah saatnya media berhenti mengecilkan kekerasan dalam hubungan pacaran. Kasus di Palembang bukan cerita sepele, ia adalah alarm sosial dan media, dengan segala kekuatannya, seharusnya menjadi pihak yang membunyikan alarm itu dengan jujur dan bertanggung jawab.
* Mahasiswa Program Study Magister Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta









