SinarHarapan.id – Denny JA, seorang pemikir dan tokoh lintas disiplin, merumuskan The Six Golden Principles of Spirituality in the Era of AI.
Ia lakukan ini sebagai panduan dalam menghadapi perubahan era yang dipenuhi teknologi dan kecerdasan buatan (AI).
Prinsip-prinsip ini tidak hanya berbicara tentang hubungan manusia dengan teknologi, tetapi juga tentang pencarian makna hidup yang universal.
Denny mencontohkan perkembangan di Silicon Valley, pusat inovasi digital. Di sana menghadirkan ironi besar.
Di tengah revolusi algoritma dan data, perusahaan seperti Google justru mendorong karyawan mereka untuk belajar mindfulness dan meditasi—sebuah cara untuk berhenti dan jeda di tengah hiruk-pikuk teknologi.
Dalam konteks ini, Denny JA mengungkapkan bahwa spiritualitas kini bertransformasi menjadi keterampilan hidup, tidak lagi eksklusif milik agama tertentu, tetapi menjadi jembatan antara kebutuhan batiniah dan tuntutan duniawi.
Di bawah ini 6 Prinsip Emas Spiritualitas untuk Era AI yang dirumuskan Denny JA, berdasarkan studi mendalam selama 30 tahun dalam penemuan positive psychology, neuroscience, mempelajari tradisi anek agama.
1. Spirit Mengutamakan Persamaan Manusia, Ketimbang Perbedaannya.
Persamaan antar Homo sapiens lebih tua, lebih dalam, dan lebih hakiki dibandingkan perbedaan yang muncul akibat agama atau keyakinan.
Agama-agama besar dunia baru muncul di ujung 1% terakhir dari sejarah manusia. Sebelumnya, spiritualitas telah menjadi bagian dari hidup manusia selama ribuan tahun—sebuah pencarian atas makna melalui langit yang tak terbatas atau api unggun yang menyala di gua.
Era ini mengajarkan bahwa dasar dari semua keyakinan adalah sama: mencari makna, merawat kehidupan, dan menjawab misteri eksistensi.
Persamaan ini adalah fondasi harmoni. Denny JA menegaskan bahwa spiritualitas modern harus menjadi alat untuk membangun jembatan, bukan tembok pemisah.
2. Warisan Agama Sebagai Kekayaan Kultural Milik Bersama
Lebih dari 4.200 agama dan kepercayaan yang ada di dunia bukan hanya milik para penganutnya, tetapi juga warisan budaya umat manusia. Setiap agama, dalam intinya, menyimpan pesan cinta, belas kasih, dan kebijaksanaan yang universal.
Hidup secara spiritual di era ini adalah upaya untuk menyaring esensi dari ajaran-ajaran tersebut agar pesan-pesan spiritual ini bisa dinikmati oleh siapa saja, tanpa sekat dogma atau batas identitas.
Dalam pandangan Denny JA, universalisasi pesan agama ini bukan berarti menghapus perbedaan, tetapi merayakan keberagaman sebagai kekayaan bersama.
3. Kebahagiaan dan Makna Melalui Riset Ilmu Pengetahuan
Era ini adalah masa ketika kebahagiaan dan makna hidup tidak lagi hanya menjadi domain filsafat atau agama, tetapi juga sains.
Melalui riset positive psychology dan neuroscience, manusia kini memiliki peta untuk mencapai kebahagiaan. Denny JA merumuskan formula 3P + 2S: Personal Relationship, Positivity, Passion, Small Winning, dan Spirituality sebagai kunci menuju hidup bermakna.
“Semua manusia, tanpa memandang agama atau ideologi, memiliki potensi untuk bahagia,” ujar Denny JA. Kebahagiaan, menurutnya, bukan puncak, tetapi perjalanan. Ini adalah warisan kolektif yang dapat diakses oleh siapa saja yang mau hidup secara sadar.
4. Pertarungan Menafsirkan Agama Yang Sesuai Hak Asasi Manusia
Para nabi telah wafat, meninggalkan warisan yang kaya akan tafsir. Di era ini, tafsir agama tidak lagi menjadi domain eksklusif otoritas tertentu.
Artificial Intelligence hadir sebagai alat untuk mengeksplorasi dan membandingkan tafsir agama secara mendalam, membimbing manusia untuk memilih tafsir yang menumbuhkan ilmu pengetahuan, menghormati hak asasi manusia, dan membawa kebahagiaan.
Denny JA melihat AI sebagai jendela baru untuk memahami sejarah tafsir agama. Namun, ia juga mengingatkan bahwa AI tidak menggantikan kebijaksanaan manusia.
“Pilihan tetap ada di tangan kita. Tafsir yang benar adalah yang membuat dunia menjadi rumah yang lebih baik bagi semua,” tegasnya.
5. Pemberdayaan Spiritual Individu, Berkurangnya Otoritas Ulama, Pendeta dan Biksu
Era AI memberikan kebebasan lebih bagi individu untuk menemukan jalan spiritual mereka sendiri. Dengan AI yang memungkinkan eksplorasi lintas teks dan sejarah agama, manusia kini memiliki alat untuk memutuskan paham dan nilai spiritual yang relevan dengan hidup mereka.
Ulama, pendeta, biksu, dan guru tetap berharga sebagai penjaga hikmah, tetapi otoritas mereka tidak lagi absolut. “Era ini memanggil kita untuk menjadi pemimpin spiritual bagi diri sendiri, dengan kebebasan yang juga menciptakan tanggung jawab baru,” ujar Denny JA.
6. Perayaan Hari Raya Aneka Agama Secara Sosial dan Lintas Iman
Hari raya agama-agama adalah lebih dari sekadar ritus keagamaan. Mereka adalah momen untuk merayakan kehidupan, cinta, dan makna bersama.
Esoterika Forum Spiritualitas, yang didirikan oleh Denny JA, memulai tradisi baru: merayakan hari raya lintas iman secara sosial.
“Masing-masing dari kita tidak perlu mengikuti ritus agama yang tidak kita yakini, tetapi kita dapat hadir sebagai sahabat, berbagi kebahagiaan dalam momen-momen suci itu,” jelas Denny JA.
Tradisi ini mencerminkan harapan akan dunia yang lebih damai, di mana keberagaman adalah kekayaan yang layak dirayakan bersama.
Teknologi AI membuka dimensi baru dalam eksplorasi spiritual. Aplikasi seperti Insight Timer menawarkan meditasi berbasis data, sementara Muse menggunakan sensor otak untuk membantu meditasi yang lebih efektif.
Di sisi lain, GPT Spiritual Companion memfasilitasi dialog lintas agama, membuka ruang refleksi tanpa batas.
“AI bukan hanya alat, tetapi teman perjalanan batin yang mengingatkan kita bahwa spiritualitas tetap abadi, meski berbaju teknologi,” ungkap Denny JA.
“Di dunia yang semakin terhubung oleh kabel dan algoritma, spiritualitas adalah tali tak kasat mata yang menyatukan hati manusia,” ujar Denny JA.
Dengan The Six Golden Principles of Spirituality in the Era of AI, ia mengajak kita untuk hidup dengan harmoni, memahami keberagaman, dan berbagi makna di tengah kemajuan teknologi.