Kesra

Desakan Kenaikan Cukai Rokok Menguat

×

Desakan Kenaikan Cukai Rokok Menguat

Sebarkan artikel ini

Pengenaan cukai yang tinggi pada rokok akan menekan konsumsi produk yang setiap tahun merenggut 300 ribu nyawa di Indonesia ini.

SinarHarapan.id –  Koalisi Pengendalian Tembakau menilai pemerintah lebih gencar menambah penerimaan negara melalui pajak kebutuhan dasar, seperti PPN dan PBB, ketimbang memanfaatkan instrumen fiskal yang dianggap lebih adil dan efektif, yakni Cukai Hasil Tembakau (CHT).

Menurut koalisi, kenaikan tarif cukai merupakan cara paling tepat untuk menekan konsumsi rokok yang setiap tahun merenggut 300 ribu jiwa di Indonesia. Namun, pada 2025, pemerintah memutuskan tidak menaikkan tarif CHT.

“Keputusan ini akan berdampak buruk terhadap kesehatan masyarakat dan ekonomi negara. Padahal, bukti global maupun riset menunjukkan kenaikan cukai berdampak positif,” kata Diah Saminarsih, CEO dan Founder Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Selasa (23/9).

Dampak Ekonomi dan Kesehatan

Diah mencontohkan, pada 2019, ketika tarif cukai tidak naik, biaya ekonomi akibat rokok mencapai Rp 410 triliun atau 2,59 persen PDB Indonesia. Angka itu mencakup biaya kesehatan dan hilangnya produktivitas. “Penerimaan cukai saat itu bahkan tidak mampu menutupi kerugian tersebut,” ujarnya.

Ia menegaskan, sesuai Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, pemerintah berkewajiban mengenakan cukai pada rokok karena sifatnya yang berbahaya.

Dukungan Publik

Hasil survei publik Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) pada 2018 menunjukkan mayoritas responden mendukung kenaikan harga rokok. Responden juga menyatakan tidak akan membeli rokok jika harganya mencapai Rp 70.000 per bungkus.

Ketua PKJS-UI, Aryana Satrya, menekankan, selama rokok tetap murah dan tersedia dalam beragam variasi harga, produktivitas bangsa akan terganggu. “Kenaikan tarif dan penyederhanaan struktur cukai menjadi langkah mendesak untuk melindungi kesehatan masyarakat,” katanya.

Potensi Penerimaan Negara

Studi CISDI pada 2024 menunjukkan kenaikan tarif cukai 45 persen berpotensi menurunkan konsumsi rokok kretek hingga 27,7 persen dan rokok putih 19,5 persen. Selain itu, penerimaan negara diperkirakan bertambah Rp 7,92 triliun serta menciptakan lebih dari 148 ribu lapangan kerja baru.

Koalisi juga menepis anggapan bahwa kenaikan cukai mendorong peredaran rokok ilegal. Menurut survei CISDI di enam kota, faktor rantai pasok lokal dan lemahnya penegakan hukum lebih dominan.

Dorongan ke Pemerintah

Koalisi Pengendalian Tembakau menilai urgensi kenaikan tarif cukai sudah tidak bisa ditunda. “Mengutamakan industri rokok berarti mengorbankan kesehatan masyarakat demi keuntungan jangka pendek. Dengan memahalkan harga rokok, masyarakat bisa lebih sehat dan tangguh secara finansial,” ujar Aryana.

Karena itu, koalisi mendesak pemerintah melalui Kementerian Keuangan menaikkan tarif CHT dan harga jual eceran rokok secara signifikan. Kebijakan itu diharapkan selaras dengan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029, termasuk penerapan tahun jamak dan penyederhanaan golongan tarif.