SinarHarapan.id- Seorang karyawan bernama Dharmawan Khadafi dilaporkan oleh Perusahaan tempatnya bekerja di PT. Importa Jaya Abadi ke Polres Sleman, Yogyakarta pada Oktober 2024 silam dengan dugaan tindak pidana Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Khadafi sendiri saat ini bekerja di Perusahaan sejenis bernama PT Baja Tirta Sentosa dan telah menjadi tahanan kota.
Untuk mengantisipasi apa yang dialami Khadafi, sejumlah eks pekerja Perusahaan tersebut melalui kuasa hukumnya Silalahi And Partners Law Firm mendatangi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memohon perlindungan hukum.
Permohonan ini diajukan oleh tim kuasa hukum yang mewakili 10 orang klien, dengan dua nama yang menjadi sorotan utama, yakni saudara Damar dan saudara Agus Himawan serta satu klien lainnya, Dharmawan Khadafi, yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka di Polres Sleman. Berkas perkara Dharmawan sendiri disebut telah dinyatakan lengkap (P21) dan dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Sleman.
Menurut kuasa hukum, klien mereka dilaporkan oleh PT Importa Jaya Abadi dengan sangkaan Pasal 30 ayat (2) dan Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang berkaitan dengan dugaan peretasan sistem dan pemindahan data elektronik.
Namun, pihak kuasa hukum menilai penerapan pasal tersebut sarat kejanggalan. Mereka menegaskan tidak ada satu pun bukti yang menunjukkan bahwa Damar maupun Agus Himawan pernah memerintahkan Dharmawan untuk mencuri atau menyalahgunakan data perusahaan. Selama proses penyelidikan dan penyidikan, tudingan tersebut dinilai hanya berupa asumsi tanpa dasar pembuktian yang kuat.
“Tidak ada bukti pemanfaatan data untuk kepentingan pihak ketiga, tidak ada penjualan data, tidak ada pula data yang diberikan ke kompetitor. Sampai hari ini, penyalahgunaan data itu tidak pernah terbukti,” ujar Sudirman Manalu SH selaku Kuasa Hukum PT. Baja Tirta Sentosa.
Lebih lanjut, Sudirman menduga perkara ini tidak berdiri semata sebagai kasus pidana, melainkan dipicu oleh persaingan bisnis. Mereka menilai laporan hukum tersebut muncul sebagai respons atas perpindahan hampir bersamaan 10 karyawan dari PT Importa Jaya Abadi ke PT Baja Tirta Sentosa.
Salah satu poin krusial yang dipersoalkan adalah tuduhan akses sistem komputer yang dianggap melanggar hukum. Kuasa hukum menegaskan bahwa klien mereka mengakses data pada 10 Oktober, sementara pengunduran diri resmi baru berlaku pada 20 Oktober. Artinya, pada saat itu klien masih berstatus sebagai karyawan aktif dengan hak akses dan otorisasi yang sah.
“Jika seseorang masih bekerja, memiliki akses resmi, lalu melakukan backup data untuk kepentingan pekerjaan atau pribadi, apakah itu otomatis menjadi tindak pidana? Di mana letak itikad buruknya?” kata kuasa hukum mempertanyakan.
Atas dasar tersebut, tim kuasa hukum menyatakan adanya dugaan intimidasi dan rekayasa hukum selama proses pemeriksaan. Beberapa klien bahkan disebut merasa ditekan agar memberikan keterangan tertentu, meski pada faktanya tidak ditemukan unsur pidana sebagaimana yang dituduhkan.
Permohonan ke LPSK dilakukan untuk meminta perlindungan hukum dan psikologis, sekaligus memastikan proses hukum berjalan objektif dan adil. Pihak kuasa hukum menilai kasus ini berpotensi menjadi preseden buruk bagi dunia ketenagakerjaan di Indonesia.
“Ini bukan hanya soal klien kami. Jika praktik seperti ini dibiarkan, maka setiap karyawan di Indonesia berpotensi dikriminalisasi hanya karena adanya konflik atau kepentingan tertentu,” tegas Sudirman Manalu SH.
Saat ini, tim hukum tengah melengkapi sejumlah dokumen dan keterangan tambahan yang diminta LPSK. Pengaduan resmi dijadwalkan akan segera disampaikan agar perlindungan hukum dapat diberikan secara maksimal selama proses hukum berlangsung.





