Berita

Ini Latar Belakang Pemerintah Terbitkan Perpu Cipta Kerja

×

Ini Latar Belakang Pemerintah Terbitkan Perpu Cipta Kerja

Sebarkan artikel ini
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto saat memaparkan latar belakang pemerintah menetapkan Perpu Cipt a Kerja. (Dok/SH.ID)

SinarHarapan.id – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia menyetujui penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja disahkan menjadi Undang-Undang pada Selasa (21/3/2023).

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto pun memaparkan latar belakang pemerintah menetapkan Perpu Cipta Kerja.

Dalam keterangan tertulis yang diterima pada Rabu (22/3/2023), Airlangga menjalaskan bahwa sebagai latar belakang Pemerintah menetapkan Perpu Cipta Kerja, dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perpu Cipta Kerja oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 30 Desember 2022 lalu merupakan pelaksanaan dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 atas pengujian formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).

Amar putusan MK tersebut antara lain memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan UU Cipta Kerja dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak putusan MK diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.

Dalam rangka pelaksanaan putusan MK tersebut, telah dilakukan: a. Penetapan UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang telah mengatur dan memuat metode omnibus dalam penyusunan undang-undang dan telah memperjelas partisipasi yang bermakna (meaningful participation) dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

“Dengan UU Nomor 13 Tahun 2022 tersebut, maka penggunaan metode omnibus telah memenuhi cara dan metode yang pasti, baku, dan standar dalam penyusunan peraturan perundang-undangan,” kata Airlangga.

Ditambahkannya, pengaturan metode omnibus dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tersebut diperkuat dengan Putusan MK Nomor 69/PUU-XX/2022 dan Nomor 82/PUU-XX/2022 yang telah menolak permohonan pengujian formil atas UU Nomor 13 Tahun 2022; b. meningkatkan partisipasi yang bermakna dimana Pemerintah telah membentuk Satuan Tugas Percepatan Sosialisasi UU Cipta kerja (Satgas UU Cipta Kerja) yang memiliki fungsi untuk melaksanakan proses sosialisasi UU Cipta Kerja.

Satgas UU Cipta Kerja bersama kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan telah melaksanakan proses sosialisasi di berbagai wilayah untuk meningkatkan pemahaman serta kesadaran masyarakat terhadap UU Cipta Kerja.

Dalam pelaksanaan sosialisasi tersebut telah pula diterima berbagai masukan dan pandangan masyarakat dan pemangku kepentingan (stake holder) atas UU Cipta Kerja; dan c. menyelesaikan penelitian, penelusuran, dan pengecekan kembali atas kesalahan teknis penulisan dalam UU Cipta Kerja yang antara lain menyangkut huruf yang tidak lengkap, rujukan pasal atau ayat yang tidak tepat, salah ketik, dan/atau judul atau nomor urut bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, atau butir yang tidak sesuai, yang bersifat tidak substansial.

Kedua, lanjut Menko Perekonomian, dalam masa pelaksanaan perbaikan UU Cipta Kerja sebagaimana amanat Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tersebut, kita semua dihadapkan pada situasi dan kondisi serta dinamika global, yang memerlukan kepastian hukum atas pelaksanaan UU Cipta Kerja. Dimana hal ini akan sangat berdampak kepada perekonomian nasional dan penciptaan lapangan kerja kita saat ini dan kedepan.

Airlangga menuturkan, UU Cipta Kerja yang lahir di tengah pandemi Covid-19, telah bertransformasi menjadi fondasi yang kuat dalam membawa Indonesia bertahan dari ketidakpastian dan goncangan perekonomian di masa pandemi Covid-19.

Bank Dunia melaporkan pada Desember 2022 bahwa pasca UU Cipta Kerja diterbitkan, Indonesia menjadi negara terbesar kedua penerima Foreign Direct Investment/FDI di Asia Tenggara. Tingkat PMA di Indonesia meningkat rata-rata 29,4% pada 5 triwulan setelah diterbitkannya UU Cipta Kerja dibandingkan dengan tingkat PMA 5 triwulan sebelum UU Cipta Kerja diterbitkan.

“Hal itu menandakan bahwa investor merespon positif dengan hadirnya UU Cipta Kerja. Begitu juga OECD melaporkan bahwa implementasi UU Cipta Kerja dapat mengurangi hambatan untuk FDI lebih dari sepertiga dan mengurangi hambatan perdagangan dan investasi hampir 10 persen pada Tahun 2021. Hal ini menandakan aspek positif hadirnya UU Cipta Kerja perlu dipertahankan oleh Pemerintah, terlebih dalam situasi perekonomian dunia yang tengah krisis,” jelas Airlangga.

Kemudian, dalam konteks kegentingan memaksa dalam penetapan Perpu Cipta Kerja, dapat disampaikan hal sebagai berikut, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 91/PUU-XVIII/2020 memberi kesempatan kepada negara untuk melakukan perbaikan prosedur pembentukan UU Cipta Kerja dalam jangka waktu 2 tahun.

Dalam periode 2 tahun tersebut, tidak diperbolehkan untuk membuat kebijakan strategis, berdampak luas, dan pembentukan peraturan pelaksanaan baru. Hal ini menciptakan kegamangan bagi pelaku usaha yang akhirnya memutuskan untuk “wait and see” terkait keputusan untuk berusaha atau berinvestasi di Indonesia.

Selain itu, pelaku usaha yang sudah berinvestasi dihadapkan pada kekosongan hukum dan/atau tidak memadainya perangkat peraturan perundang-undangan yang saat ini ada karena tidak dapat melakukan perubahan perubahan peraturan pelaksanaan yang diperlukan.

Oleh karena itu, timbul situasi kegentingan memaksa karena Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 91/PUU-XVIII/2020 perlu untuk segera dilaksanakan karena jika tidak dilaksanakan, maka upaya untuk beradaptasi dengan situasi global sulit untuk dilakukan.

Bentuk Perpu dipilih karena jika negara menempuh proses pembentukan peraturan perundang-undangan secara business as usual (bukan melalui Perpu), maka negara akan berhadapan dengan waktu dan birokrasi panjang proses pembentukan peraturan perundang-undangan.

Situasi ini akan berdampak langsung tidak hanya pada kelompok UMK dan kelompok masyarakat rentan karena mereka akan berhadapan langsung dengan dampak ketidakpastian situasi global, tetapi juga pada global investor yang merasakan urgensi dalam mencari kepastian untuk mengevaluasi kembali peluang investasi mereka di Indonesia setelah masa sulit yang panjang dari Covid-19.

“Oleh karena itu, Perpu Cipta Kerja merupakan salah satu langkah mitigasi dampak krisis global. Ibaratnya, mencegah lebih bagus daripada memadamkan kebakaran. Perpu Cipta Kerja mencegah kebakaran terjadi dan meluas. Kerentanan perekonomian global yang berpotensi berdampak signifikan terhadap perekonomian nasional. Perekonomian global terus diterpa oleh berbagai tantangan yang dapat memicu terjadinya resesi global, kondisi yang disebut sebagai The Perfect Storm,” pungkas Airlangga.  (non/infopublik)