SinarHarapan.id – Indonesia Police Watch (IPW) mendesak Presiden Joko Widodo membentuk satuan tugas khusus (Satgasus) yang menertibkan mafia tambang serta aparat penegak hukum yang membekingnya.
Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso mengatakan Satgasus tersebut sebaiknya dikepalai oleh Menko Polhukam, seperti ketika Presiden memberi penugasan kepada Menko Polhukam dalam penanganan kasus Ferdy Sambo.
“Yang meresahkan para pengusaha dan investor tambang saat ini adalah praktik mafia yang menggunakan pola hostile take over, yakni upaya paksa mengambil alih saham perseroan tambang dengan proses hukum yang terlihat legal,” kata Sugeng dalam diskusi media bertajuk ”Beking Aparat di Balik Mafia Tambang” yang digelar Sorogan Journalist Forum di Jakarta, Rabu (21/12).
Hostile take over biasanya diawali dengan perjanjian kerja sama atau pembelian saham perseroan resmi yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP). Namun, melalui jaringan yang kuat, utamanya di lembaga-lembaga hukum, mereka kemudian mengambil alih paksa saham perusahaan secara murah.
“Jadi, mereka sebenarnya tidak berniat berinvestasi, tapi memang hendak mencaplok perusahaan resmi dengan proses hukum yang terlihat legal,” urai Sugeng. Misalnya yang terjadi pada PT Citra Lampia Mandiri (CLM), perusahaan tambang nikel yang beroperasi di Kec. Malili, Kab. Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Mula-mula, CLM diajak kerja sama PT Aserra Mineralindo Investama (AMI), dengan kesepakatan AMI setor modal sebesar US$ 28,5 juta. Namun, baru setor US$ 2 juta, pihak AMI sudah mengklaim kepemilikan, dilanjutkan dengan melakukan penyerobotan lahan tambang.
AMI yang dipimpin Zainal Abidinsyah Siregar tercatat sebagai anak perusahaan PT Apexindo Pratama Duta, Tbk. Sebuah perusahaan terbuka.
“Dalam kasus ini, oknum bahkan pejabat polisi memang nyata ikut menjadi bagian dari mafia itu,” lanjut Sugeng.
Khusus terhadap Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo, IPW mengingatkan bahwa tugas polisi adalah melakukan penegakan hukum secara adil. Artinya, tidak berpihak kepada yang sedang berperkara.
Mengutip paparan Helmut Hermawan, praktisi tambang yang juga pemilik sah PT CLM, mafia yang menzalimi dirinya memang bertindak sangat sistematis. Setelah mentransfer dana, meski angkanya jauh di bawah kewajiban, mereka bisa memaksakan penyelenggaraan RUPS –yang notabene ilegal– hingga melakukan penyerobotan lahan.
Helmut menuturkan, mafia tambang itu antara lain memanfaatkan celah dari Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) Kementerian Hukum dan HAM, yang memberi kepercayaan kepada pejabat notaris untuk melakukan eksekusi yang tidak dibenarkan secara hukum. Itu sebabnya, lanjut Helmut, pihaknya meminta perlindungan hukum.
”Dasarnya, perusahaan kami (CLM) di Malili telah diambil secara ekstra yudisial dengan cara kekerasan. Kasus ini semakin membuat miris karena mereka mendapatkan perlindungan dari oknum aparat penegak hukum,” paparnya.
Terkait keterlibatan oknum polisi sebagai beking kasus hukum ini, CLM sudah mengadukan lima anggota Polri dari jajaran Polda Sulawesi Selatan ke Divisi Propam Mabes Polri. Disusul kemudian dengan melaporkan kasus ini ke Kantor Menko Polhukam.
”Buat kami, mafia tambang dan beking aparat bukan cuma masalah CLM. Ia sudah menjadi PR besar bagi pemerintah dalam upaya menjaga iklim investasi, baik untuk investor dalam maupun luar negeri,” kata Helmut yang juga hadir dalam diskusi.
Helmut Hermawan memastikan, industri penambangan nikel di Indonesia memiliki prospek yang sangat cerah. Apalagi, selain padat modal, industri ini juga padat karya. Hal ini terkait dengan kemampuan industri ini dalam menyerap banyak tenaga kerja di lingkungan sekitar area penambangan. CLM sendiri sejauh ini telah menyerap lebih dari 2.000 kepala keluarga sebagai karyawan, kontraktor, dan subkontraktor di pertambangan mereka. (YS)