SinarHarapan.id, Jakarta– Ketua Etikanet, Wahyu Irawan, menanggapi postingan Ferry Irwandi yang viral di medsosnya yang menyebut para pengkritiknya sebagai bentuk fitnah. Wahyu menilai sikap tersebut sebagai respons yang tidak dewasa dalam menghadapi dinamika ruang digital yang memang terbuka terhadap kritik dan masukan.
“Kalau sudah memilih mencari cuan di ruang digital, maka harus siap dengan konsekuensinya, yaitu kritik, koreksi, bahkan perdebatan. Ruang digital itu bukan ruang steril yang hanya berisi puja-puji,” kata Wahyu dalam keterangannya, Senin (8/12).
Menurut Wahyu, dalam negara demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi, kritik adalah bagian yang sah dari partisipasi publik. Ia menegaskan, tidak semua kritik bisa serta merta dilabeli sebagai fitnah, apalagi jika kritik tersebut lahir dari dampak konten yang menimbulkan persepsi bermasalah di tengah masyarakat.
“Saya meyakini para tokoh yang menyampaikan kritik bukan tanpa dasar. Pasti ada unsur, ada celah masalah dalam konten yang diproduksi Ferry Irwandi, sehingga membuka ruang kritik tersebut. Ini hukum sebab-akibat dalam komunikasi publik,” tegasnya.
Wahyu menjelaskan, semakin besar jangkauan sebuah konten, maka semakin besar pula tanggung jawab moral pembuatnya. Konten kreator, menurut dia, tidak cukup hanya berbekal popularitas dan jumlah penonton, tetapi juga harus memiliki kesadaran etika dalam menyampaikan narasi kepada publik.
“Jangan sampai logika yang dibangun adalah hanya selama viral, selama dapat menghasilkan uang, maka semua narasi dibenarkan. Ini berbahaya bagi kesehatan ruang digital kita,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa kritik sejatinya adalah mekanisme kontrol sosial agar ruang digital tidak berubah menjadi ruang propaganda sepihak. Menutup diri dari kritik justru menunjukkan ketidakmatangan dalam berdemokrasi.
“Kalau tidak mau dikritik, ya jangan tampil di ruang publik. Hidup di dunia maya itu harus siap mental. Jangan gampang baper, apalagi langsung menuduh semua kritik sebagai fitnah,” sindir Wahyu.
Wahyu mendorong seluruh konten kreator untuk menjadikan kritik sebagai bahan refleksi, bukan sebagai ancaman. Menurutnya, dengan cara itulah ruang digital dapat tumbuh lebih sehat, beretika, dan mencerdaskan publik.
“Demokrasi butuh kedewasaan. Ruang digital butuh etika. Keduanya tidak akan pernah bertemu jika setiap kritik selalu dianggap serangan,” pungkasnya. (Van)






