SinarHarapan.id – Panitia Kerja (Panja) Komisi 1 DPR RI bersama Pemerintah saat ini mempercepat pembahasan revisi kedua UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Namun, Koalisi Serius Revisi UU ITE yang terdiri atas 28 organisasi masyarakat sipil menilai, pembahasan tersebut dilakukan secara tergesa-gesa, tidak serius menjawab permasalahan (termasuk ancaman kriminalisasi/pembungkaman kebebasan berekspresi), tertutup dan minim partisipasi publik.
Berdasarkan catatan Indonesian Parliamentary Center (IPC) hingga 7 Juli 2023 yang dihimpun dari pemberitaan media dan risalah rapat, setidaknya Panja Komisi 1 telah menggelar 12 rapat terkait revisi kedua UU ITE.
Dari jumlah tersebut ternyata hanya lima rapat yang diumumkan secara resmi di website DPR. Itu pun hanya mencantumkan siapa saja yang hadir tanpa menyertakan isi pembahasan.
Selain itu, Komisi 1 hanya menggelar dua kali Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama perwakilan masyarakat sipil.
RDPU tersebut tanpa penjelasan lebih lanjut, sejauh mana masukan masyarakat sipil diakomodasi dalam revisi kedua UU ITE.
Tertutupnya pembahasan revisi kedua UU ITE menyalahi prinsip negara demokrasi yang seharusnya membuka partisipasi bermakna bagi publik, sebuah prinsip dimana seharusnya masyarakat memiliki hak untuk didengarkan, hak untuk mendapatkan informasi, hak untuk dipertimbangkan masukkannya, hak untuk mendapatkan penjelasan, serta hak untuk mengajukan komplain (right to be heard, right to informed, right to be considered, right to be explained, right to be complained).
Pelibatan publik cukup krusial mengingat revisi kedua UU ITE yang diajukan oleh Panja Pemerintah masih memuat sejumlah pasal-pasal bermasalah.
Berdasarkan catatan Koalisi dari Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) versi Juli 2023, ada beberapa masalah dalam RUU tentang Perubahan Kedua UU ITE antara lain;
Pertama, masih dipertahankan dan dimuatnya pasal-pasal tindak pidana yang seharusnya dihapus karena telah diatur dan dicabut oleh KUHP baru sebagaimana ketentuan peralihan dalam Pasal 622 ayat (1) huruf r Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP.
Pasal-pasal yang seharusnya dicabut yakni Pasal 27 ayat (1) tentang Keasusilaan, Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik, Pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian, Pasal 30, Pasal 31 ayat (1), Pasal 31 ayat (2), Pasal 36, Pasal 45 ayat (1), Pasal 45 ayat (3), Pasal 45A ayat (2), Pasal 46, Pasal 47, dan Pasal 51 ayat (2). Koalisi juga menemukan dua pasal baru, Pasal 28A ayat (1) dan (2) tentang informasi bohong, yang sudah memiliki padanannya dalam KUHP baru.
Dipertahankannya pasal-pasal yang sama dalam revisi kedua UU ITE tersebut akan berakibat adanya duplikasi pasal ketika KUHP Baru berlaku pada 2026 yang akan datang.
Pasal tersebut terbukti menjadi alat kriminalisasi dan membungkam rakyat, aktivis, jurnalis, dan berbagai kelompok yang kritis.
Mempertahankan pasal-pasal ini berarti tidak menyelesaikan ancaman, protes dan kegelisahan yang menjadi latar belakang revisi kedua UU ITE.
Hal ini menjadi ancaman serius bagi kebebasan berekspresi, berpendapat dan kebebasan pers yang dijamin oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Berdasarkan catatan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), sepanjang 2013-2022, setidaknya ada 500 orang yang dilaporkan menggunakan pasal bermasalah dalam UU ITE.
Mayoritas pelapor adalah pejabat publik dan pihak yang merasa mewakili institusi atau organisasi yang membuat laporan adanya dugaan pelanggaran UU ITE seperti pencemaran nama atau ujaran kebencian yang dilakukan oleh warganet.
Mempertahankan Pasal 27 ayat (1) tentang kesusilaan juga akan menghambat korban kekerasan seksual untuk mencari keadilan.
Selama ini, pasal 27 ayat (1) seringkali digunakan oleh pelaku untuk mengkriminalisasi korban, keluarga korban maupun pendamping korban kekerasan seksual yang berjuang mendapatkan keadilan.
Pasal tersebut seharusnya dihapus karena Indonesia telah memiliki UU Tindak Pidana Kejahatan Seksual.
Kedua, Panja Komisi 1 DPR RI dan Pemerintah masih berfokus pada pasal-pasal pidana. Padahal catatan Koalisi menunjukkan pasal-pasal lain non-pidana di dalam UU ITE patut direvisi karena berdampak pada hak asasi manusia antara lain Pasal 26 ayat (3), Pasal 40 ayat (2a) dan (2b), serta Pasal 43.
Pasal 26 ayat (3) terkait penghapusan data seharusnya dihapus dari UU ITE karena ketidakjelasan rumusan beberapa frasa dan berpotensi tumpang tindih dengan peraturan perundangan lainnya, seperti UU Pers dan UU Keterbukaan Informasi Publik.
Sedangkan Pasal 40 ayat (2a) dan (2b) memerlukan pengaturan yang lebih rinci terkait pihak yang seharusnya melakukan moderasi konten serta pelibatan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) untuk menghindari pemutusan akses informasi dan/atau dokumen elektronik yang sewenang-wenang.
Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU ITE Perubahan Kedua bisa diakses melalui tautan ini: https://safenet.or.id/2023/07/dim-revisi-uuite/
Melihat perkembangan pembahasan revisi kedua UU ITE yang mengkhawatirkan, kami Koalisi Masyarakat Sipil untuk Revisi UU ITE mendesak DPR RI dan Pemerintah untuk:
Menunda pengesahan RUU ITE Perubahan Kedua sampai seluruh pasal bermasalah dibahas secara tuntas dan tidak lagi berpotensi melanggar hak asasi manusia;
Mendesak pemerintah dan DPR membuka proses pembahasan revisi kedua UU ITE secara transparan sehingga publik mengetahui seluruh isi pembahasan.
Pembahasan revisi UU ITE secara tertutup hanya akan menghasilkan aturan yang sarat kepentingan elite dan jauh dari kepentingan untuk melindungi hak-hak asasi manusia;
Menolak praktik ugal-ugalan dari Pemerintah dan DPR RI yang mengabaikan partisipasi publik bermakna dalam revisi UU ITE.
Praktik tersebut kita bersama lihat dilakukan saat Pembahasan Omnibus Law UU Cipta Kerja, UU Minerba, Revisi UU KPK, Revisi UU Mahkamah Konstitusi, Omnibus Law UU Kesehatan dan Revisi KUHP yang pada akhirnya merugikan publik dan hanya menguntungkan para elite.
“Masyarakat memiliki hak untuk didengarkan, mendapatkan informasi, dipertimbangkan masukkannya, mendapatkan penjelasan, serta mengajukan komplain. Partisipasi publik tidak bisa disimplifikasi hanya dengan sosialisasi satu arah.”