Ekonomi

Penelitian Ungkap Bakteri Pembawa Gen Resistensi Antimikroba masih Ditemukan Pada Produksi Telur di Indonesia

×

Penelitian Ungkap Bakteri Pembawa Gen Resistensi Antimikroba masih Ditemukan Pada Produksi Telur di Indonesia

Sebarkan artikel ini

SinarHarapan.id – Studi terbaru yang dilakukan oleh peneliti di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada menemukan bahwa Salmonella, bakteri yang menyebabkan penyakit dan berpotensi menyebabkan kematian, terdapat dalam telur yang dijual di supermarket di Indonesia.

Studi tersebut menguji sebanyak 160 telur dari gerai ritel dan dari peternakan di Yogyakarta. Sebanyak 87,5% dari telur yang diuji, dinyatakan positif terkontaminasi strain Salmonella yang resisten terhadap bakteri oksitetrasiklin, antibiotik penting yang digunakan untuk pengobatan terhadap berbagai kondisi, seperti demam, malaria, infeksi saluran pernapasan, dan jerawat. Lebih memprihatinkan lagi, penelitian ini juga menemukan terdapat telur, termasuk di bagian dalam telurnya, yang mengandung bakteri superbug yang resisten terhadap beberapa obat, disebut dengan istilah multi-drug resistance.

“Kami cukup prihatin dengan temuan ini, yang juga menunjukkan bahwa peternakan telur di Indonesia kemungkinan masih menggunakan antibiotik secara tidak bertanggung jawab. Telur yang terkontaminasi bakteri Salmonella dapat membuat orang sakit jika tidak dimasak dengan baik, atau jika mengontaminasi permukaan lain dan menyebar ke bahan pangan lain. Infeksi oleh Salmonella yang resisten terhadap antibiotik pada manusia dapat menyebabkan tingkat rawat inap bahkan kematian yang lebih tinggi,” ungkap Aisah Nurul Fitri, Manajer Kesejahteraan Hewan di Act for Farmed Animals, koalisi organisasi perlindungan hewan Animal Friends Jogja dan NGO internasional Sinergia Animal, yang berupaya mempromosikan pilihan pangan yang sehat, berkelanjutan, dan meningkatkan kesejahteraan hewan di negara-negara Selatan Global, termasuk Indonesia.

Bakteri yang resisten merupakan ancaman kesehatan publik yang salah satunya disebabkan oleh penyalahgunaan antibiotik dan obat antimikroba lainnya di sektor peternakan. Setidaknya 700.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat penyakit infeksi bakteri resisten ini.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), di berbagai negara peternakan menggunakan hingga 80% antibiotik penting dalam dunia medis. World Health Organization menyatakan bahwa penyalahgunaan antibiotik yang terjadi dalam skala besar pada produksi hewan dapat menyebabkan lebih banyak kematian dibandingkan kanker dalam waktu dekat. Sebuah penelitian yang dipublikasikan oleh jurnal ternama The Lancet memperkirakan 4,95 juta orang meninggal akibat penyakit yang terkait dengan resistensi antimikroba di tahun 2019 saja. Jumlah ini bisa meningkat menjadi 10 juta kematian setiap tahunnya pada tahun 2050 jika tren tersebut terus berlanjut.

Industri peternakan intensif, yang memelihara hingga jutaan hewan dalam satu wilayah, merupakan penyebab utama penyalahgunaan antibiotik. Pengurungan hewan dalam jumlah besar dengan kepadatan yang tinggi di lingkungan yang kurang steril dan terpapar ke lingkungan, mendorong berkembangnya tingkat patogenisitas yang tinggi melalui berbagai cara. Selain itu, penurunan fungsi imun tubuh yang disebabkan oleh stres kronis membuat hewan kehilangan sebagian respon imun yang melindungi mereka terhadap infeksi. “Pada sistem ini, hewan yang sehat menerima antibiotik dosis rendah jangka panjang untuk pencegahan penyakit. Bakteri yang tidak terbunuh oleh antibiotik tersebut menjadi superbug, menyebar ke lingkungan dan menginfeksi hewan serta manusia,” jelas Fitri.

Mayoritas ayam petelur di Indonesia dipelihara di kandang baterai, sistem produksi telur intensif yang menempatkan beberapa ayam di kandang sempit dari besi atau bambu. Setiap ayam menghabiskan hidupnya di ruang yang lebih kecil dari selembar kertas A4 dan tidak dapat berjalan dengan bebas atau merentangkan sayap. Pengurungan ekstrim dan kurangnya gerakan fisik umumnya menyebabkan tingkat frustrasi tinggi serta nyeri patah tulang.

Kandang baterai juga dapat menimbulkan risiko bagi kesehatan masyarakat. Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) telah melakukan salah satu penelitian terbesar di dunia mengenai masalah ini dan menyimpulkan bahwa sistem kandang baterai memiliki tingkat prevalensi Salmonella yang lebih tinggi dibandingkan sistem bebas kandang (cage-free). Menurut WHO, “Salmonella spp. diperkirakan menyebabkan 93,8 juta kasus gastroenteritis akut dan 155.000 kematian secara global setiap tahunnya, sekitar 85% di antaranya diperkirakan disebabkan oleh makanan.”

“Sudah saatnya produsen telur dan perusahaan makanan di Indonesia meninggalkan sistem intensif yang memiliki prevalensi kontaminasi Salmonella lebih tinggi serta dari penggunaan antibiotik secara tidak bertanggung jawab ketika hewan tidak sakit,” tambah Fitri. “Saatnya bagi Indonesia juga untuk mulai beralih dari penggunaan kandang baterai, sebuah sistem yang menempatkan hewan di ruang sempit sehingga mereka sulit bergerak dan mengurangi kesejahteraan mereka,” tambahnya.

Act For Farmed Animals Coalition (AFFA), menggunakan dialog, negosiasi, dan kampanye kesadaran untuk mendorong komitmen bebas kandang dari perusahaan makanan besar di Indonesia. Kerry Group, Ascott, Hokkaido Baby, Ismaya Group, dan Potato Head adalah beberapa contoh perusahaan di Indonesia yang telah berkomitmen untuk tidak lagi menerima telur kandang baterai dari rantai pasoknya.

Studi “Antibiogram Profile of Salmonella Spp. and Antimicrobial Residue of Chicken Egg in Yogyakarta: Implication to Public Health” diterbitkan dalam Indonesian Journal of Veterinary Science Indonesia oleh drh. M.Th. Khrisdiana Putri, MP, PhD (Staf Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada). Sinergia Animal mensponsori penelitian ini dengan dukungan Tiny Beam Fund.