SinarHarapan.id – Lonjakan harga beras kian memicu kekhawatiran publik. Data dari Panel Harga Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) mengungkapkan, pada Februari 2024 harga beras medium II meningkat tajam sebesar 6,25%, atau Rp 900/kg, menjadi Rp 14.250/kg dibandingkan dengan Januari 2024.
Food Monitor Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mencatat, harga pangan pada pemilu yang berlangsung pada November 2023 hingga Februari 2024 tercatat 15,41% lebih tinggi dibandingkan Februari tahun lalu.
“Kenaikan ini tidak hanya berpotensi meningkatkan angka inflasi, tetapi juga mengancam daya beli masyarakat, terutama kelompok rentan. Beban yang ditimbulkan oleh kenaikan harga beras menjadi salah satu pemicu utama meningkatnya biaya hidup, yang pada gilirannya turut menurunkan akses masyarakat terhadap pangan yang sehat dan bergizi,” kata Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta.
Kebijakan perdagangan komoditas pangan, khususnya terkait impor, memainkan peran kunci dalam menentukan keterjangkauan harga pangan. Namun, saat ini, sistem kuota impor yang diatur oleh pemerintah melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dapat memicu praktik monopoli dan menambah harga sejumlah komoditas strategis.
Hambatan non-tarif atau Non-Tariff Measure (NTM) juga terbukti menambah biaya impor, yang pada akhirnya dibebankan kepada konsumen. NTM merupakan bentuk kebijakan perdagangan internasional yang telah diterapkan oleh negara-negara terkait standar mutu dan persyaratan yang berkaitan dengan aspek kesehatan (sanitary).
Menurut temuan studi CIPS, NTM menaikkan harga pangan domestik hingga 67,2% di atas harga internasional. Jika kuota impor dihapuskan, harga beras dalam negeri bisa turun drastis, hanya 8,4% lebih tinggi dari harga pasar internasional.
Dengan demikian, reformasi kebijakan perdagangan sangat diperlukan untuk menurunkan harga pangan, memperbaiki gizi masyarakat dan membantu pemerintah dalam upaya menurunkan prevalensi stunting di Indonesia.
Dalam hal ini, CIPS merekomendasikan perumusan kebijakan yang lebih inklusif dan efisien untuk membuka akses masyarakat terhadap beragam sumber pangan.
Kebijakan tersebut juga perlu mendukung penurunan harga pangan impor dan memastikan stabilitas pasokan dalam negeri, sehingga semua lapisan masyarakat dapat menikmati pangan yang terjangkau dan sehat.
Penurunan harga pangan melalui penurunan NTM berkorelasi dengan angka kemiskinan, mengingat sekitar 70% pengeluaran masyarakat miskin adalah pengeluaran untuk pangan.
Pada gilirannya, pengendalian angka kemiskinan berperan dalam upaya penurunan angka stunting, yang pada saat ini masih menyentuh 21,5% penduduk, jauh di atas target 14 persen yang ditetapkan pemerintah untuk dicapai pada tahun 2024.
Penurunan angka stunting juga memerlukan penguatan koordinasi antar kementerian dan lembaga dalam upaya untuk menurunkan angka stunting.
Penanganan stunting membutuhkan intervensi yang bersifat jangka panjang dan tidak taktis untuk menghasilkan perubahan gaya hidup dan perubahan pola konsumsi pangan. (nat)