SinarHarapan.id – Polemik pondok pesantren Al-Zaytun yang belakangan muncul ke ruang publik seolah menyegarkan ingatan banyak orang tentang ancaman NII (Negara Islam Indonesia) yang belum sepenuhnya hilang.
Keterkaitan Al-Zaytun dan NII sebenarnya sudah begitu banyak diungkap oleh berbagai pihak. Hal ini tentu menjadi serius karena berarti Al-Zaytun memiliki hubungan dengan gerakan terorisme tertua di Indonesia tersebut.
Wakil Sekretaris BPET MUI (Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia), M. Najih Arromadloni, menjelaskan bahwa keterkaitan Al-Zaytun dengan NII sebetulnya adalah suatu fakta sejarah yang tidak bisa dibantah.
Pasalnya, saksi dan informasi terkait hal ini sangat banyak. Namun dicabutnya Undang-Undang Subversif menjadi kendala tersendiri dalam menindak gerakan seperti NII.
“Merupakan suatu fakta yang tidak terbantahkan bahwa NII adalah induk organisasi teror yang ada di Indonesia. Semua kelompok teror yang ada di Indonesia hari ini adalah turunan NII. Genealogisnya pasti bisa dilacak sampai ke NII. Dulu ketika ada Undang-Undang Subversif, mungkin bisa ditindak dengan itu. Sekarang kan sudah tidak ada, yang ada adalah Undang-Undang nomor 5 tahun 2018 tentang Penanggulangan Terorisme. Karena itu, supaya NII ini bisa dijangkau dengan Undang-Undang yang baru, NII harus dimasukkan ke dalam DTTOT (Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris),” jelas Gus Najih, panggilan karibnya, di Jakarta, Rabu (12/7/2023).
Menurutnya, aparat keamanan di Indonesia sudah punya data sebaran jaringan NII, tetapi payung hukumnya yang tidak ada. Kewenangan aparat keamanan adalah melaksanakan produk hukum, tetapi perancangan dan pembuatan hukum sendiri itu ada di wilayah eksekutif dan yudikatif.
Di wilayah eksekutif dan yudikatif inilah yang seharusnya proaktif untuk memberikan payung hukum supaya aparat bisa bekerja dengan efektif.
Eksistensi NII sendiri sebenarnya bisa ditarik mundur hingga pada zaman orde lama. Pada masa itu, Pemerintah Indonesia yang dipimpin Presiden Soekarno pernah beberapa kali menghadapi gerakan pemberontakan. Mereka yang memberontak pada pemerintahan yang sah melihat ada celah untuk bergerak di saat Indonesia masih membangun stabilitas nasional pasca penjajahan Belanda dan Jepang.
“Sebetulnya NII ini kita semua sudah banyak yang tahu, didirikan oleh Sekarmadji Kartosoewirjo. Pendiri NII ini telah ditangkap dan dihukum mati pada zaman Presiden Soekarno. Setelah kejadian itu, NII mengubah strategi perjuangannya, dari perjuangan militer ke clandestine (gerakan bawah tanah), termasuk dengan membentuk gerakan civil society,” jelasnya.
Gus Najih ini menyebutkan, kepemimpinan NII sempat beberapa kali juga mengalami regenerasi. Sepeninggalnya Kartosoewirjo, muncul nama Daud Beureueh dan Adah Jaelani, yang sampai pada saat ini bisa ditarik relasinya ke Panji Gumilang. Panji Gumilang berperan sebagai panglima tertinggi NII menjalankan perannya dari ponpes Al-Zaytun yang masuk pada Komandemen Wilayah 9 atau yang biasa disebut juga dengan KW9.
Manuver Panji Gumilang kali ini menuai kehebohan di ruang publik. Apa yang ia lakukan seolah menimbulkan tanda tanya besar. NII yang sejatinya gerakan tersembunyi, tiba-tiba muncul kembali dengan wajah yang bernama Al-Zaytun melalui kontroversi yang dibuat oleh tindakan dan perbuatan dari Panji Gumilang selaku panglima tertinggi.
Gus Najih berpendapat, perjalanan Al-Zaytun ini sudah sangat panjang dan NII bersembunyi juga sudah sangat lama. Ketika Panji bersuara dan kemudian pendapatnya dikeluarkan ke publik itu artinya memang dia menganggap bahwa sudah datang momentumnya.
“NII bersembunyi sudah sangat lama. Selama ini kan Panji berjuang dari mulai tahun 60-an. Kemudian Al-Zaytun dirintis dari tahun 92, diresmikan oleh Presiden Habibie tahun 96, artinya sudah lebih dari 30 tahun perjalanannya Al-Zaytun. Kalau misalnya Panji Gumilang sekarang mengekspos pendapat-pendapatnya ke publik itu bukan tanpa maksud,” tuturnya.
Artinya lanjut Gus Najih, dia menganggap memang sudah saatnya. Dia sudah berhasil melakukan clandestine selama bertahun-tahun, sudah saatnya untuk show of force dan kemudian menawarkan ide-ide nya ke publik,” terang Gus Najih.
Gus Najih pun mengingatkan bahwa NII masih aktif. Sel pergerakan yang NII bangun itu masih aktif dan mereka terus membangun kekuatan. Ini harus dicegah, jangan sampai seperti pecahan yang berupa JI (Jama’ah Islamiyah) ataupun JAD (Jama’ah Ansharut Daulah) yang sudah menjadi laten.
“Saya kira Pemerintah tidak boleh meremehkan dan saya sependapat dengan yang disampaikan oleh Komisi III maupun oleh BNPT, bahwa penting untuk memasukkan NII ini sebagai DTTOT, karena itu nantinya menjadi dasar bagi aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan hukum kepada orang-orang yang masih ada di dalam NII.” pungkasnya. (non)