SinarHarapan.id – Amnesty International Indonesia menilai keputusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan vonis bebas dua polisi, terdakwa kasus Tragedi Kanjuruhan, bisa menjadi momentum untuk mengusut tuntas tragedi sepak bola yang menewaskan 135 orang dan melukai ratusan lainnya pada 1 Oktober 2022 lalu.
“Keputusan MA ini membawa harapan baru bagi keluarga dari 135 korban dan mereka yang luka-luka dalam Tragedi Kanjuruhan untuk mendapatkan keadilan. Keputusan tersebut juga harus menjadi momentum untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan dan lembaga penegak hukum,” kata Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena, dalam siaran pers, Jumat (25/8).
“Tragedi Kanjuruhan telah menjadi luka bagi keluarga korban dan masyarakat, namun keputusan MA atas kasus itu turut memberi harapan baru untuk mengatasi budaya impunitas yang sebelumnya melekat dalam sistem peradilan terkait kasus kekerasan yang melibatkan aparat keamanan.”
“Maka kami mendesak lembaga-lembaga penegak hukum untuk tetap menyelidiki kasus Tragedi Kanjuruhan secara menyeluruh. Akuntabilitas seharusnya tidak hanya ditegakkan pada aparat keamanan di lapangan, tetapi juga harus menyentuh para pemimpin mereka di tataran komando.
“Kasus ini juga harus menjadi pelajaran penting bagi aparat keamanan dalam menegakkan hak asasi manusia sekaligus menjunjung profesionalisme dan integritas dalam tugas-tugas mereka,” lanjut Wirya.
Mahkamah Agung dalam putusan kasasi pada Rabu malam (23/8), menurut laporan media, telah membatalkan vonis bebas terhadap dua polisi yang menjadi terdakwa dalam kasus Tragedi Kanjuruhan, yang menewaskan 135 jiwa dan ratusan lainnya luka-luka.
Mantan Kasat Samapta Polres Malang, AKP Bambang Sidik Achmadi, dan mantan Kabag Ops Polres Malang, Kompol Wahyu Setyo Pranoto, divonis di tingkat kasasi dengan hukuman masing-masing dua tahun penjara dan dua tahun enam bulan penjara.
Dalam putusan kasasi MA itu, hakim menyatakan bahwa kedua terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang karena kealpaannya menyebabkan orang lain meninggal dunia, mengalami luka berat, dan luka sedemikian rupa sehingga berhalangan melakukan pekerjaan untuk sementara.
Kedua terdakwa dinyatakan telah terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 359 KUHP, Pasal 360 ayat (1) KUHP dan Pasal 360 ayat (2) KUHP.
Pada 16 Maret 2023, Pengadilan Negeri Surabaya membebaskan Bambang Sidik Achmadi dan Wahyu Setyo Pranoto dengan alasan tidak cukup bukti untuk menghukum mereka.
Kepolisian sebelumnya menetapkan enam tersangka dalam kasus Tragedi Kanjuruhan, yang terdiri dari tiga personel kepolisian dan tiga pihak sipil. Tiga tersangka dari unsur kepolisian adalah Wahyu dan Bambang, serta AKP Hasdarmawan (eks Danki III Brimob Jawa Timur) yang dihukum penjara selama 1,5 tahun setelah dinyatakan bersalah karena kelalaian.
Dari pihak sipil, tiga tersangka adalah Akhmad Hadian Lukita (Dirut LIB), Suko Sutrisno (Security Officer saat malam Tragedi Kanjuruhan), dan Abdul Haris (Ketua Panpel Arema FC). Suko divonis satu tahun penjara dan Abdul Haris satu setengah tahun penjara
Dari enam tersangka, lima telah menjalani proses pengadilan dan dijatuhi vonis. Satu tersangka, Akhmad Hadian Lukita, belum dilimpahkan karena berkasnya membutuhkan kelengkapan dari kepolisian. Sejak 21 Desember 2022, Lukita dibebaskan dari tahanan karena penahanannya tidak diperpanjang oleh penyidik kepolisian.
Sedangkan di pengadilan militer pada 7 Februari, seorang anggota TNI Serda Tofan Baihaqi Widodo dijatuhi hukuman empat bulan penjara karena melakukan penganiayaan saat tragedi Kanjuruhan.
Tragedi Kanjuruhan yang memakan banyak korban terjadi seusai laga Arema FC Vs Persebaya Surabaya pada 1 Oktober 2022 di Stadion Kanjuruhan, Malang. Tembakan gas air mata dari aparat telah menyebabkan ratusan suporter bola luka-luka dan meninggal dunia. Tragedi Kanjuruhan merupakan peristiwa paling berdarah dalam sejarah sepak bola di Indonesia.