SinarHarapan.id – Aksi damai memperingati Hari Buruh Internasional, Rabu 1 Mei 2025, diwarnai berbagai tindak kekerasan oleh aparat kepolisian di sejumlah kota. Amnesty International Indonesia menyebut praktik kekerasan itu sebagai bukti pemerintah masih menjalankan pola otoriter dalam membungkam kebebasan berekspresi dan berkumpul warga.
“Sekali lagi aparat memperlihatkan taktik yang brutal, kejam dan tidak manusiawi terhadap peserta aksi damai,” kata Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena, dalam pernyataannya, Kamis, 2 Mei 2025.
Wirya mengatakan pelanggaran hak asasi manusia serius terjadi di Jakarta dan Semarang. Ia merinci bentuk pelanggaran itu mulai dari penggunaan kekuatan berlebihan, penyiksaan, penangkapan semena-mena, penggeledahan tanpa dasar hukum, hingga kekerasan terhadap jurnalis dan petugas medis.
Represi di Jakarta: Gas Air Mata dan Penangkapan
Di Jakarta, aksi buruh di depan Gedung DPR/MPR Senayan sejak pagi sudah dihadang oleh aparat. Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) menyebut polisi menggeledah perangkat aksi dan barang-barang pribadi mahasiswa. Beberapa di antaranya dituduh sebagai bagian dari kelompok anarko tanpa dasar hukum.
Sekitar pukul 17.00 WIB, aparat membubarkan massa dengan semprotan meriam air dan gas air mata, padahal saat itu aksi damai diselingi pertunjukan musik. TAUD mencatat 14 orang ditangkap dan dibawa ke Polda Metro Jaya, termasuk empat petugas medis yang sedang bertugas. Mereka tidak hanya ditangkap, tapi juga mengalami kekerasan fisik.
“Para korban mengaku dipukul, dipiting, ditendang hingga dilindas kendaraan bermotor,” kata juru bicara TAUD. Tiga orang mengalami luka di kepala. Seorang peserta aksi perempuan juga mengalami pelecehan seksual oleh aparat.
Jurnalis Jadi Sasaran
Seorang jurnalis dari media progreSIP berinisial Y turut menjadi korban. Saat merekam tindakan represif aparat, ia dianiaya oleh sekitar sepuluh orang berpakaian sipil yang diduga polisi. Identitas pers sudah ia tunjukkan, namun kekerasan tetap berlangsung. Ia juga dipaksa menghapus rekaman video dan mengalami sesak napas akibat kekerasan.
Aksi di Semarang: Serangan ke Posko Medis dan Wartawan
Di Semarang, situasi serupa terjadi. Polisi membubarkan aksi buruh dengan gas air mata dan meriam air. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang mencatat setidaknya 14 orang ditangkap secara sewenang-wenang dan masih ditahan di Polrestabes Semarang hingga Jumat siang.
Posko medis aksi bahkan ikut terkena tembakan gas air mata. Seorang jurnalis Tempo berinisial JAN mendapat dua kali serangan. Pertama, saat meliput aksi di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah. Ia dicekik dan nyaris dibanting. Serangan kedua terjadi saat ia berada di depan kampus Undip Pleburan. Meski saat itu didampingi Wakapolda Jawa Tengah, JAN tetap dipukul oleh beberapa orang berpakaian polisi.
DS, pemimpin redaksi pers mahasiswa, mengalami luka robek di wajah akibat dipukul saat merekam tindakan kekerasan aparat. Ia mendapat jahitan di rumah sakit. Empat anggota Lembaga Pers Mahasiswa dari UIN dan Universitas PGRI Semarang juga menjadi korban kekerasan.
Amnesty: Impunitas Terus Berulang
Amnesty International menyebut kekerasan aparat terus berulang karena tidak ada akuntabilitas di internal Polri. “Lingkaran impunitas mengakar kuat karena tidak ada penghukuman terhadap pelaku dan atasan mereka,” kata Wirya Adiwena.
Amnesty mendesak Kepolisian RI segera menghentikan taktik otoriter dan menggelar investigasi menyeluruh atas kekerasan yang terjadi. Mereka juga menuntut pembebasan segera para peserta aksi yang ditahan hanya karena mengekspresikan hak mereka secara damai.
Pemerintah, DPR, dan lembaga pengawas lainnya diminta mengevaluasi kepemimpinan Polri yang dinilai menjadi alat represi. “Ini menjadi alarm bagi Komisi III DPR untuk menggunakan hak angket atau interpelasi demi membuka tabir impunitas di tubuh Polri,” kata Wirya.