SinarHarapan.id – Empat nama kini menambah daftar panjang jurnalis yang gugur di Gaza. Anas Al Sharif, Mohammed Qraiqea, Ibrahim Al Thaher, dan Mohamed Nofal, empat insan pers yang setiap hari mengabadikan derita warga Palestina, tewas dalam serangan terarah militer Israel.
Mereka tewas di tenda tempat biasa mengirimkan laporan, tepat di seberang Kompleks Medis Al-Shifa. Di sanalah, kamera dan mikrofon menjadi senjata mereka, merekam jeritan dan debu kehancuran yang menyelimuti Gaza.
Al Jazeera Media Network mengecam keras pembunuhan yang menargetkan korespondennya, Anas Al Sharif dan Mohammed Qraiqea, serta fotografer Ibrahim Al Thaher dan Mohamed Nofal, oleh militer Israel di Gaza. Serangan ini dinilai sebagai bentuk pelanggaran terang-terangan terhadap kebebasan pers.
Dalam pernyataannya, Al Jazeera menyebut serangan itu diarahkan secara sengaja ke tenda tempat para jurnalis bertugas, yang berada di seberang Kompleks Medis Al-Shifa. Keempatnya tewas di lokasi. Militer Israel disebut mengakui aksi tersebut sebagai operasi yang terarah.
Al Jazeera menilai pembunuhan ini sebagai upaya membungkam suara-suara yang mengungkap rencana pendudukan penuh Gaza. Anas Al Sharif, yang disebut sebagai salah satu jurnalis paling berani di wilayah tersebut, telah menjadi sasaran pernyataan provokatif dari sejumlah pejabat Israel sebelum kematiannya.
Sejak awal perang, para jurnalis ini menjadi saksi dan pelapor langsung dari dalam wilayah yang terkepung. Mereka memberikan liputan tanpa sensor, menyoroti penderitaan warga Gaza di tengah blokade, kelaparan, dan pemboman tanpa henti yang berlangsung lebih dari 22 bulan.
Al Jazeera, tempat keempatnya bernaung, menyebut serangan ini sebagai pembunuhan yang disengaja. Militer Israel, dalam pernyataannya, mengakui bahwa serangan diarahkan tepat ke posisi para jurnalis.
Bagi Al Jazeera, kematian Anas Al Sharif terasa amat menyesakkan. Selama perang, namanya kerap disebut dalam ancaman sejumlah pejabat Israel karena liputannya yang tanpa tedeng aling-aling. Anas, bersama rekan-rekannya, termasuk sedikit suara terakhir dari Gaza yang memberi dunia potret nyata penderitaan di wilayah terkepung itu.
Selama 22 bulan, mereka menyaksikan kelaparan, kehancuran rumah, dan lenyapnya seluruh komunitas. Mereka mengirimkan gambar-gambar yang tak sanggup ditutup sensor, menyampaikan suara orang-orang yang tak lagi punya tempat berlindung.
Kini, kamera mereka terdiam. Mikrofon mereka membisu.
“Anas dan rekan-rekannya tak hanya meliput dari Gaza. Mereka hidup bersama warga yang mereka liput, merasakan lapar, takut, dan kehilangan yang sama,” demikian pernyataan Al Jazeera.
Jaringan media itu menegaskan, ini bukan kali pertama jurnalisnya menjadi sasaran. Namun semangat para wartawan Al Jazeera untuk tetap berada di garis depan belum pernah surut, sampai peluru menjemput mereka.
Al Jazeera menyerukan komunitas internasional dan organisasi hak asasi manusia untuk menghentikan pembunuhan jurnalis dan mengakhiri impunitas bagi pelaku. “Kebebasan pers di Gaza bukan hanya soal hak media, tetapi juga hak dunia untuk mengetahui kebenaran,” tulis mereka.