SinarHarapan.id – Anggota Tim Ahli Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Henry Indraguna mengkritik keras pernyataan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asyari, yang menyatakan adanya kemungkinan penggunaan sistem proporsional tertutup untuk pemilihan umum (Pemilu) 2024.
Henry mengingatkan wacana yang disampaikan Hasyim Asyari adalah langkah mundur bagi proses demokratisasi yang sudah berjalan dengan baik paska reformasi serta kemunduran bagi penyelenggara Pemilu itu sendiri.
“Apabila kembali kepada sistem proporsional tertutup, yang terjadi adalah munculnya anggota-anggota parlemen yang tidak dikenal oleh rakyat yang diwakilinya. Karena rakyat hanya memilih tanda gambar partai, dan siapa yang terpilih berdasarkan nomor urut teratas yang ditentukan oleh parpol,” ujar Henry yang juga Anggota Dewan Pakar DPP Partai Golkar lewat rilis yang diterima redaksi Rabu (04/12/2023).
Yang akan muncul, ungkap Henry adalah elite partai yang hanya dekat dengan pimpinan parpol dan tidak mengakar ke rakyat. Padahal para calon penghuni Senayan sejatinya adalah mereka yang bisa dan mampu memperjuangkan aspirasi rakyat yang mereka wakili.
“Pertanyaannya kalau mereka bisa jadi Anggota DPR RI karena kemauan elite bukan kehendak rakyat yang diwakilinya. Lalu mereka itu mewakili siapa di Senayan. Siapa yang mereka perjuangkan? Rakyat? Tentu tidak. Ini yang menjadi kemunduran bagi demokrasi di negeri ini,” ketus Henry Indraguna.
Henry meyakini oligarki partai akan semakin merajalela dan hak rakyat untuk memilih langsung wakil rakyatnya jelas-jelas dikebiri.
“Dalam sistem proporsional tertutup, perjuangannya adalah bagaimana mendapatkan nomor urut kecil, kalau bisa dapat nomor urut 1. Maka, resepnya ya dekat kepada pimpinan partai. Dekat kepada rakyat tidak penting, yang penting branding partai tetap kuat di dapil,” ungkap Doktor Ilmu Hukum di dua universitas ternama ini.
“Cukup hanya tokoh utama partai yang berkampanye keliling. Partai menang, caleg nomor urut 1 terpilih. Kasihan caleg nomor urut 2 yang sudah kerja keras mungkin saja tidak terpilih. Sementara nomor urut 3 dan seterusnya cuma pelengkap. Hampir tidak ada harapan untuk terpilih. Jadi istilahnya hanya untuk pantas-pantasan saja,” imbuhnya.
Pengebiran Hak Rakyat
Fungsionaris Pusat Partai Golkar ini tak memungkiri bahwa sistem proporsional terbuka yang selama ini telah ditetapkan dalam pemilu-pemilu sebelumnya telah berekses kepada biaya politik yang terlampau tinggi.
Selain karena persaingan antar-caleg dan antarpartai, justru di dalam partai sendiri persaingan lebih keras lagi. Bahkan ada yang mengaitkannya dengan politik uang.
“Padahal politik uang tidak berasal dari sistem pemilu, tapi justru pada budaya politik masyarakat dan elit itu sendiri,” jelas Vice President Kongres Advokat Indonesia (KAI) ini.
Menurut Henry, akan sangat relatif jika bicara politik biaya tinggi. Tergantung siapa caleg dan daerah pemilihannya (Dapil), serta campaign financing system.
“Apalagi, sekarang bisa menggunakan medsos secara gratis. Jadi biaya kampanye bisa ditekan dan tidak harus politik dikonotasikan menguras biaya sangat tinggi,” ungkap Henry.
Yang jelas, kata dia, sistem proporsional terbuka menghasilkan anggota parlemen yang akuntabilitasnya kuat kepada rakyat.
“Kalaupun sudah terpilih, tidak ada jaminan dia bisa terpilih kembali, biarpun dapat nomor urut 1. Tergantung bagaimana penilaian rakyat terhadap kinerjanya sebagai wakil rakyat dan manfaat yang diperoleh rakyat,” tutur Henry.
Ini yang berbeda dengan sistem proporsional tertutup. Seseorang bisa terpilih dan terpilih kembali, walau kinerjanya sebagai wakil rakyat tidak jelas.
“Selama dia dekat dengan pimpinan partai, dia bisa terus dapat nomor urut 1, dan kemungkinan besar bisa terpilih kembali,” bebernya.
Kalau itu terjadi, yang akan tampil di DPR RI dan DPRD Provinsi, Kota/Kabupaten adalah para elit partai dan orang-orang yang jago cari muka (carmuk) kepada pimpinan partai.
“Mereka bukanlah wakil rakyat yang sejati. Kalau benar kita kembali ke sistem proporsional tertutup, itu adalah kemunduran demokrasi di Indonesia. Ibarat kucing dalam karung, rakyat disuguhkan untuk memilih wakil rakyat yang tidak dikenal,” ketusnya.
Politisi Golkar yang intens membina Dapil Jateng V meliputi Kota Surakarta Kabupaten Sukoharjo, Boyolali, dan Klaten ini mengajak masyarakat untuk tetap menghendaki menggunakan sistem proporsional terbuka, yang tetap memberikan peluang bagi rakyat untuk memilih langsung wakilnya.
“Janganlah hak rakyat untuk memilih langsung wakilnya dikebiri, dengan mundur ke sistem proporsional tertutup,” tegas Henry.
Seperti diketahui sistem proporsional tertutup ini pemilih hanya dapat memilih partai politik secara keseluruhan dan tidak dapat memilih kandidat atau calon legislator. Dalam sistem ini, kandidat dipersiapkan langsung oleh partai politik.
“Dalam sistem tersebut, masing-masing partai politik telah menentukan terlebih dahulu siapa yang akan memperoleh kursi yang dialokasikan kepada partai tersebut dalam pemilu. Sehingga calon yang menempati urutan di atas dalam daftar ini cenderung selalu mendapat kursi di parlemen,” ungkap Henry.