SinarHarapan.id – Pada akhirnya dua Paslon Presiden dan Wakil Presiden mengajukan Permohonan ke MK, terkait hasil Pengumunan Real Count KPU yang memenangkan Prabowo – Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih dengan Perolehan suara 96.214.691 suara atau setara 58.59 % dan pasangan Amin ( Anis – Muhaemin ) atau 24.59 % atau setara 40.971. 906 Suara dan di nomor buncit diperoleh Gama ( Ganjar- Mahfud ) 16.47% atau 27.040.878 suara, dikutif dari detik com, Kamis 21 Maret 2024.

Setelah Pengumuman KPU yang memenangkan Prabowo Gibran, mereka ( 01 dan 03 ) kompak teriak KPU curang. Seakan dengan narasi curang Lembaga Pemilu akan menganulir hasil suara Real Count dari KPU. Karena faktanya kalimat curang hanya diwilayah asumsi dari kubu 01 dan 03.
Kemudian untuk menguatkan tuduhan curang, para Tokoh yang tergabung dibarisan sakit hati telah menyerukan demo dan yang lucunya demo bukan pada kegiatan mendukung Pemilu curang, tetapi mau melengserkan Jokowi sebagai Presiden yang masih sah. Tidak tanggung tanggung tokoh para pensiunan Jendral mantan Menteri yang tergabung dibarisan sakit hati ikut menyerukan demo dan pelengseran Presiden dengan atribut hak angket.

Dalam tulisan ini, tidak akan panjang lebar membahas masalah Hak Angket maupun Demo yang dipelopori Para Mantan Jendral dibarisan sakit hati kepada Presiden Jokowi. Tulisan akan memfocuskan masalah persidangan di MK ( Mahkamah Konstitusi ) terkait dua permohonan dari Kubu yang kalah, yaitu paslon 01 dan 03 di Pilpres 2024.

MK menurut UUD 45 yang telah diamandem dalam pasal 24 huruf C ayat 1 berbunyi sbb :
Mahkamah Konstitusi berhak mengadili sengketa Pilpres, Pileg dstnya, sehingga terhadap rujukan UUD 45, sengketa Pilres masuk wilayah hukum MK, bukan Angket seperti disuarakan oleh seorang Ganjar dan Anis. Karena wilayah Pilpres adalah masuk wilayah sengketa seperti tercermin dalam UU No. 7 tahun 2017 pasal 466, bukan wilayah kerja DPR. Dan terkait masalah hak angket dapat dibaca dalam tulisan Penulis. Dengan judul “ Hak Angket dalam Pandangan Negara Hukum …. “ Sinar Harapan, 26 Feb 2024.

Dalam membaca berita Permohonan yang diajukan oleh Para Pemohon 1 dan 2 ( Amin dan Gama ) menurut para Advokat yang tergabung dalam Prabowo Gibran, permohonan lebih banyak mengandung – narasi – ketimbang fakta fakta hukum yang sejalan dengan alat bukti. Narasi atau cerita yang tersusun bukan suatu keadaan yang sebenarnya, dan bisa saja sumhernya dari orang perorang yang bukan karena melihat, mendengar dan merasakan dari suatu Pristiwa hukum, keadaan seperti ini disebut testimonium de auditu ( tahu karena dari orang ). Dan keadaan seperti ini tidak masuk dalam alat bukti.
Dan yang lebih parah dalam perkara sengketa Pilpres, para Pemohon meminta MK menganulir pasangan Prabowo Gibran dan meminta Pemilu diulang tanpa keikut sertaan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

Bahwa sebelum lebih jauh membahas masalah MK sebagai lembaga peradilan masalah sengketa Pilpres, Pileg, Pilgub dan lain lain. Alangkah baiknya saya akan menguraikan terlebih dahulu terkait sebelum berlakunya UU Pemilu No. 7 tahun 2017, utamanya masalah sengketa Pilpres.
Pada tahun 2007 telah diundangkan UU No. 22 tahun 2007, tentang Penyelenggaraan Pemilu. Dalam UU tersebut pertama kali Badan Pengawas Pemilu atau yang kita kenal dengan nama Bawaslu, seperti tertuang dalam Bab IV pasal 70 UU No. 22 tahun 2007. Namun perannya sebagai lembaga Pengawas tidak kuat kecuali hanya pada sesi Pengawasan saja dan tugas loinya akan menyampaikan temuan kepada Lembaga Terkait seperti Kepolisian apabila terjadi tindak pidana.

Pada tahun 2015 Koalisi Masyarakat Sipil untuk Inisiatif Kodifikasi UU Pemilu yang terdiri dari Perludem, Puskapol UI, JPPR, IPC, Kode Inisiatif, KPI,POPULI, SP, Center, CSIS, dan lain-lain. Dan tujuan pembentukan Koaslisi adalah untuk menyederhanakan UU Pemilu yang kala itu berjumlah 4 UU Pemilu dan dari keempat UU tersebut akan di Kodifikasi menjadi satu UU Pemilu. Selain dari ke empat UU tersebut saling tumpang tindih satu dengan yang loin, juga tidak tidak praktis dari segi keberlakuan. Kemudian harapan Koalisi untuk menyatukan UU Pemilu terkabul dengan di lahirnya UU No 7 tahun 2017.

Dalam UU No 7 tahun 2017, bukan hanya penyatuan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, juga Pileg baik ditingkat Pusat sampai Kabupaten/ Kota. Juga Pilgub ( Pemilihan Gubernur ) dan Pilbub/Kota, yang tidak kalah menariknya peran Bawaslu yang mempunyai kewenangan cukup besar seperti diatur dalam UU No. 7/2017, pasal 94 angka 2 ( a,bc dan d ) angka 3 ( a,b,c,d dan e) utamanya apabila terdapat dugaan Pelanggaran Pemilu. Barangkali belum lekang dari ingatan kita, Komisioner KPU RI diadili oleh Bawaslu karena dianggap Melanggar Etik menerima Pendaftaran Capres dan Cawapres Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Dalam putusannya No. Reg. 010/LP/ADM.PL/BWSL/00.00/XI/2023. dinyatakan Melanggar pasal 460 ( 1 ) UU No. 7 tahun 2017.

Terkait putusan Bawaslu diatas memang masih menjadi perdebatan, apakah Bawaslu sudah menjadi Lembaga Peradilan Pemilu, atau bagaimana. Sebab apabila sudah memainkan peran sebagai lembaga Peradilan Pemilu maka kiblatnya kemana, MA atau MK. Karena di dua lembaga tersebut tidak ada didalam UU MK bahwa MK yang membawahi Peradilan Pemilu yang digawangi Bawaslu. Demikian juga MA. Dalam UUnya hanya mengenal Peradilan Umum, TUN, Agama, Militer, Tipikor dll. Belum ada Peradilan Pemilu.

Terlepas dari masalah kedudukan Bawaslu di Lembaga Yudikatif, dengan berlakunya UU pemilu 7/2017 maka suka dan suka terdapat badan Peradilan lain di Pemilu selain MK. Sehingga Bawalu yang diberi wewenang mengadili Perkara Pilpres terkait etik dan Administrasi, maka harus menjadi alat ukur buat semua kontestan Pilpres bahwa apabila terdapat dugaan pada pelanggaran Etik dan Administrasi wilayahnya bukan di MK akan tetapi di Bawaslu. Sehingga sangat wajar MK karena bukan domainnya harus menolak permintaan yang konyol itu. Dan saya setuju dengan pendapat Rekan Hotman Paris, kenapa pada saat pengumuman paslon tidak protes tapi justru berangkulan satu dengan yang lainnya. Dalam hukum apabila diam atau tidak protes “ mengakui “ kedudukan para Paslon utamanya Prabowo – Gibran.

Terkoit info bahwa Permohonan hanya mengedepankan “ narasi “ dalam hukum acara MK tidak dikenal. Sebab dalam peradilan di MK menurut UU No. 24 tahun 2003, pasal. 36 ayat ( 1 ) bila melihat kepada alat bukti yang terdiri dari :
a. surat atau tulisan; b. keterangan saksi; c. keterangan ahli; d. keterangan para pihak; e. petunjuk; dan f. alat bukti berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa. Maka tidak ada narasi yang menjadi alat bukti.

Dalam peradilan MK seperti yang diatur dalam UU No. 24/2003, hanya ada lima ( 5 ) kriteria permohonan seperti yang dapat diajukan ke MK, hal ini termuat dalam pasal 30 huruf d, yaitu :
-PERSELISIHAN TERHADAP HASIL PEMILIHAN UMUM.
Perselisihan seperti di jelaskan dipasal 475 UU No. 7 tahun 2017.
Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, pasangan calon dapat mengajueberatan kepada Mahkamah Konstitusi dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh KPU.

Menurut pasal 475 UU No. 7/2017 perselisihan yang dimaksud terkait hitung hitungan raihan angka ( suara ) dari yang ditetapkan oleh Real Count KPU RI dengan paslon 01 dan 03 dari jumlah suara yang diraihnya.contoh: real count KPU Paslon 01 mendapat suara 24 juta lebih, namun menurut 01 bukan 24 juta lebih, akan tetapi jumlah suara dari bukti yang ada bukan 24 juta lebih akan tetapi 35 juta lebih. Maka selisih 11 juta lebih harus dibuktikan dengan alat bukti berupa C 1 dan C Flano yang diperoleh dari TPS ( Tempat Pemungutan Suara ). Begitupun sebaliknya paslon 03 harus mempunyai bilangan Pembagi dari real count KPU dengan suara yang diraih Ganjar Mahfud. Diluar itu, maka tidak sah karena bukan wilayah kerja MK. ***

Ditulis oleh : C. Suhadi SH MH
Koord : Team Hukum Merah Putih