SinarHarapan.id – Pemerintah Indonesia memberikan respons yang tidak memadai bahkan cenderung mengerdilkan fakta-fakta akan kondisi hak asasi manusia di Indonesia saat mendapatkan kritik dan pertanyaan dari Komite Hak Asasi Manusia PBB, demikian menurut Amnesty International Indonesia.
“Kami menyesalkan komentar dan jawaban delegasi Pemerintah Indonesia atas sejumlah pertanyaan dan rekomendasi yang diajukan dalam sidang peninjauan Konvensi Hak Sipil dan Politik di Jenewa.
Apa yang disampaikan tidak sesuai fakta situasi HAM di Indonesia dan jawaban yang disampaikan itu-itu saja atau dengan kata lain, tidak ada perubahan,” kata Deputi Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Wirya Adiwena, dalam konferensi pers Senin (18/3).
Wirya dan sejumlah representasi masyarakat sipil berkesempatan menghadiri Sidang Komite HAM PBB di Jenewa, Swiss.
Bertempat di Palais Wilson pada 11-12 Maret 2024, berlangsung sidang Tinjauan Penerapan Kovenan Internasional untuk Hak Sipil dan Politik (ICCPR) oleh Komite Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Agenda sidang itu mendengarkan respons delegasi Pemerintah Indonesia atas pertanyaan dan rekomendasi Komite HAM PBB mengenai situasi dan kondisi HAM di Indonesia.
Ada beberapa hal terkait situasi HAM di Indonesia yang ditanyakan Komite HAM PBB dalam sidang tersebut, di antaranya menyangkut isu pembunuhan di luar hukum, situasi di Papua, dan pengusutan pelanggaran HAM yang berat di masa lalu.
Tinjauan periode sebelumnya dilakukan sebelas tahun yang lalu pada tahun 2013.
“Ada beberapa jawaban dari delegasi Indonesia yang justru membuat kami terheran-heran. Beberapa hal yang disampaikan pada review periode sebelumnya masih menjadi pekerjaan rumah (PR) pada tahun ini. Dan itu pun tidak dijawab oleh anggota delegasi Indonesia,” lanjut Wirya.
Dalam konteks pelanggaran HAM berat masa lalu, satu hal yang muncul dalam review pada tahun 2013 oleh Komite HAM PBB adalah adanya kebuntuan (deadlock) antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM terkait pengusutan pelanggaran HAM yang berat di masa lalu.
“Terkait pelanggaran HAM yang berat di masa lalu, yang perlu kita kritisi saat ini adalah posisi kita sekarang di mana sebenarnya? Penyelesaian yudisialnya masih jalan di tempat. Seberapa serius sebenarnya pemerintah dan parlemen kita menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat di masa lalu?,” lanjut Wirya.
Terkait pembunuhan di luar hukum, penyiksaan maupun perlakuan tidak manusiawi lainnya, pemerintah Indonesia mengklaim memiliki kebijakan yang tidak mentolerir impunitas. Mereka berdalih bahwa jumlah kasus pembunuhan di luar hukum oleh pasukan keamanan relatif lebih sedikit ketimbang yang dilakukan kelompok sipil bersenjata.
“Itu bukanlah jawaban yang layak disampaikan oleh negara, yang seharusnya memiliki tanggung jawab untuk melindungi warganya,” sebut Wirya.
“Saat ada bagian dari negara yang diberi kepercayaan untuk memiliki kekuatan memegang senjata dengan tujuan untuk melindungi warganya, kalau ada satu saja pembunuhan di luar hukum yang dilakukan aparat keamanan, itu adalah kesalahan yang sangat besar.”
Amnesty International Indonesia mencatat, dari Januari 2018 hingga Mei 2023, ada sekitar 65 kasus pembunuhan di luar hukum dengan 106 korban, lanjutnya.
“Kalau pemerintah serius mengatakan bahwa Indonesia memiliki kebijakan nihil impunitas, maka harus serius menanggapi semua kasus pembunuhan di luar hukum oleh aparatnya. Jangan malah dikerdilkan,” kata Wirya.
Terkait situasi di Papua, terutama para pengungsi, delegasi Indonesia menyebutkan bahwa pengungsi internal di Papua hanya terjadi akibat tiga hal. Pertama, bencana alam yaitu kekeringan. Kedua, akibat konflik horizontal, dan ketiga akibat kekerasan kelompok kriminal bersenjata, tanpa menyebutkan akibat dari keberadaan pasukan keamanan besar-besaran.
“Hal-hal seperti ini membuat kami bertanya-tanya dan merasakan kurangnya komitmen negara terhadap masalah yang disampaikan anggota Komite HAM PBB,” jelas Wirya.
“Jawaban yang selalu sama menunjukkan masalah HAM di Indonesia tidak pernah diselesaikan dengan tuntas.”