Nasional

Amnesty International Indonesia: Menko Yusril Keliru

×

Amnesty International Indonesia: Menko Yusril Keliru

Sebarkan artikel ini

Yusril menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran HAM berat dalam beberapa dekade terakhir, termasuk kerusuhan Mei 1998.

SinarHarapan.id – Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, menyatakan bahwa pernyataan Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra tentang HAM keliru dan menyalahi hukum.

“Pejabat pemerintah tidak seharusnya mengeluarkan pernyataan salah terkait HAM,” kata Usman Hamid, Senin (21/10).

Pernyataan Yusril menunjukkan kurangnya pemahaman atas pengertian pelanggaran HAM berat di UU No. 39/1999 dan UU No. 26/2000.

Yusril juga mengabaikan laporan tim pencari fakta pemerintah dan penyelidikan pro-justisia Komnas HAM tentang pelanggaran HAM berat.

Pelanggaran HAM berat, menurut hukum nasional, bukan hanya genosida dan pembersihan etnis.

Hukum internasional menyebut empat kejahatan serius: genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.

Penyelidikan Komnas HAM telah diserahkan ke Jaksa Agung, dan menjadi fakta hukum yang sah.

Pernyataan Yusril juga menunjukkan kurangnya empati terhadap korban, terutama Tragedi Mei 1998.

Tragedi Mei 1998 menyisakan luka mendalam bagi mereka yang kehilangan keluarga akibat kekerasan massal.

Di awal masa jabatan, Yusril telah memberi sinyal pemerintahan yang tidak fokus menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat.

Penentuan apakah suatu peristiwa tergolong pelanggaran HAM berat harus diputuskan oleh pengadilan HAM, bukan oleh presiden atau menteri.

Bantahan Komnas HAM

Komnas HAM perlu membantah pernyataan Yusril dan mendesak penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, termasuk Tragedi Mei 1998.

Yusril menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran HAM berat dalam beberapa dekade terakhir, termasuk kerusuhan Mei 1998.

Kerusuhan 13-15 Mei 1998 merupakan tragedi nasional yang merendahkan martabat manusia dan negara.

Pada 23 Juli 1998, Presiden Habibie membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk menyelidiki kerusuhan tersebut.

TGPF menemukan bahwa sulit menentukan angka pasti korban kerusuhan Mei 1998 dan mencatat bahwa di Jakarta, korban tewas setidaknya mencapai 1.217 orang, dengan sebagian besar terbakar atau dibakar.

Menurut laporan TGPF, korban di luar Jakarta termasuk 33 meninggal dan 74 terluka,  namun ada perbedaan data korban antara tim investigasi dan laporan resmi pemerintah.

Catatan TGPF menyebut ada 52 korban perkosaan, mayoritas berasal dari etnis Tionghoa. Tim GPF merekomendasikan Komnas HAM menyelidiki dugaan pelanggaran HAM berat dalam Tragedi Mei 1998.

Pada 2003, Komnas HAM menyimpulkan adanya bukti kuat kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Tragedi Mei 1998.

Pasal 104 UU HAM menjelaskan pelanggaran HAM berat sebagai pembunuhan massal, penyiksaan, penghilangan paksa, dan diskriminasi sistematis.

Sedangkan Pasal 7 UU No. 26/2000 menyebut kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai pelanggaran HAM berat.

PBB menyatakan bahwa negara wajib menginvestigasi dan menghukum pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan.