Nasional

Amnesty International Indonesia: Stop Intimidasi TNI di Kampus

×

Amnesty International Indonesia: Stop Intimidasi TNI di Kampus

Sebarkan artikel ini

Diskusi bertema “Fasisme Mengancam Kampus: Bayang-Bayang Militer bagi Kebebasan Akademik”  dari Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW) dan Forum Teori dan Praksis Sosial (FTPS), mendadak berubah menjadi momen penuh ketegangan, Senin (14/4).

Aksi Kamisan (20/3) di Jakarta (Foto: Amnesty International Indonesia)

SinarHarapan.id – Kehadiran anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam diskusi mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang menuai sorotan tajam dari publik. Diskusi bertema “Fasisme Mengancam Kampus: Bayang-Bayang Militer bagi Kebebasan Akademik”  dari Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW) dan Forum Teori dan Praksis Sosial (FTPS), mendadak berubah menjadi momen penuh ketegangan, Senin (14/4).

Kekhawatiran bermula saat seorang pria tak di kenal berbaju hitam muncul di lokasi diskusi di area terbuka samping Auditorium 2 Kampus 3. Meski panitia memintanya memperkenalkan diri, pria tersebut memilih bungkam dan meninggalkan lokasi tanpa penjelasan. Mahasiswa yang hadir mencurigai pria tersebut sebagai intel.

Tak berselang lama, petugas keamanan kampus meminta sejumlah mahasiswa  menemui seseorang di sekitar lokasi. Sosok itu ternyata seorang anggota TNI berseragam lengkap. Ia langsung menanyai identitas para mahasiswa, termasuk nama, alamat, semester kuliah, hingga maksud dan isi diskusi. Ketika mahasiswa menanyakan soal tujuan dan sumber informasinya, sang anggota TNI hanya memberikan senyuman tanpa jawaban.

Baca Juga: Amnesty International: Akhiri Impunitas, Adili Pelanggaran TNI

Seorang mahasiswa mengaku telah di minta menyebutkan data pribadinya. Ia juga mendapat informasi bahwa aparat militer telah menyisir area kampus sebelum diskusi mulai. Tak hanya itu, anggota TNI tersebut terlihat berboncengan motor dengan pria berbaju hitam yang lebih dahulu muncul.

Amnesty Kecam Intimidasi

Menanggapi kejadian tersebut, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, menyampaikan kecaman keras. Menurutnya, kehadiran aparat berseragam dalam diskusi akademik merupakan bentuk intimidasi dan pelanggaran serius terhadap hak berkumpul dan berpendapat secara damai.

“Kampus adalah zona netral yang harus bebas dari intervensi negara, termasuk aparat keamanan dan pertahanan seperti TNI,” kata Usman dalam pernyataannya, Selasa (15/4).

Usman menilai tindakan anggota TNI tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan tugas pokok menjaga pertahanan negara. Diskusi kampus, katanya, bukanlah bentuk ancaman terhadap kedaulatan.

Ia juga menyerukan agar institusi TNI segera menginvestigasi tindakan anggotanya untuk mencegah terulangnya peristiwa serupa. “Tindakan ini memperkuat kekhawatiran publik terhadap tren militerisasi ruang publik, terutama setelah revisi UU TNI disahkan pada 20 Maret lalu,” lanjutnya.

Menurut Usman, kampus harus tetap menjadi ruang aman untuk berpikir kritis dan membangun kesadaran masyarakat, bukan menjadi lokasi patroli militer dengan dalih “monitoring wilayah”.

Klarifikasi Kodam Diponegoro

Pihak Kodam IV/Diponegoro membenarkan adanya anggota TNI yang berada di area kampus saat itu. Kepala Penerangan Kodam menyebut bahwa personel tersebut adalah anggota Koramil Ngaliyan yang bertugas sebagai Bintara Pembina Desa (Babinsa).

Kodam menyatakan bahwa kehadiran personel itu bukan bentuk intervensi, melainkan bagian dari kegiatan rutin monitoring wilayah. Mereka juga menegaskan bahwa pria berbaju hitam yang muncul sebelumnya bukan bagian dari TNI.

Meski demikian, penjelasan itu tidak meredam keresahan mahasiswa dan publik. Banyak pihak menilai kehadiran aparat bersenjata dalam kegiatan akademik, apalagi tanpa undangan resmi, melanggar prinsip kebebasan berpendapat dan berorganisasi.

Kampus Bukan Wilayah Militer

Berbagai kalangan menilai kampus harus terlindung dari praktik-praktik yang berpotensi membungkam kebebasan berpikir dan berekspresi. Terlebih, kehadiran TNI dalam kegiatan sipil tanpa prosedur yang jelas kerap memunculkan rasa takut dan trauma.

“Diskusi akademik harus di hormati sebagai bagian dari proses demokrasi,” tegas Usman Hamid.

Peristiwa di UIN Walisongo ini menjadi pengingat pentingnya menjaga ruang akademik tetap bebas dari tekanan militer maupun negara. Karena sejatinya, tempat belajar bukanlah medan operasi militer.