Nasional

Dua Dekade Damai Aceh: Dari Peluru ke Kotak Suara

×

Dua Dekade Damai Aceh: Dari Peluru ke Kotak Suara

Sebarkan artikel ini

SinarHarapan.id –  Dua puluh tahun lalu, dentuman senjata di Aceh perlahan digantikan suara rakyat yang mencoblos di bilik suara. Perjalanan panjang itu kini dikenang sebagai titik balik sejarah Indonesia: konflik puluhan tahun berakhir dengan perjanjian damai yang hingga kini tetap bertahan.

Di Jakarta, ERIA School of Government (SoG) menggelar peringatan 20 tahun Perjanjian Damai Aceh. Selama tiga hari, para tokoh nasional, mitra internasional, akademisi, jurnalis, hingga organisasi masyarakat sipil berkumpul, berbagi cerita, dan merefleksikan makna perdamaian yang telah terjaga dua dekade lamanya.

Salah satu sosok sentral yang hadir adalah Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Dengan suara bergetar mengenang masa-masa sulit, ia menceritakan bagaimana diplomasi, kepercayaan, dan kesabaran menjadi kunci.

“Tantangan terberat adalah menjaga semua pihak agar tetap mematuhi gencatan senjata. Kami membentuk mekanisme bersama, melibatkan pemantau internasional, sipil, dan militer. Itu membuktikan bahwa pelaksanaan yang baik sama pentingnya dengan perundingan,” ujar SBY.

Keberhasilan perdamaian Aceh memang lahir dari serangkaian langkah nyata.

Hanya dalam hitungan bulan setelah penandatanganan, pasukan ditarik, gencatan senjata berjalan, dan mantan kombatan mulai kembali hidup sebagai warga biasa.

Mekanisme bersama antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang dipantau Aceh Monitoring Mission (AMM), menjadi model kerja sama yang efektif.

Sementara itu, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) membangun kembali Aceh dengan melibatkan masyarakat sebagai pelaku utama.

Bagi Tetsuya Watanabe, Presiden ERIA, Aceh adalah pelajaran berharga bagi dunia.

“Perdamaian adalah kunci untuk maju, berinovasi, dan meraih mimpi masa depan. Aceh menunjukkan bahwa komitmen menjaga perdamaian jauh lebih penting setelah tinta perjanjian mengering,” katanya.

Nada serupa disampaikan Prof. Nobuhiro Aizawa, Dekan ERIA SoG. Ia menekankan bahwa pengalaman Aceh relevan untuk generasi baru.

 

“Aceh membuktikan bahwa kebencian bisa diubah menjadi kepercayaan. Namun pekerjaan belum selesai. Pertanyaannya, bagaimana perdamaian ini bisa tetap terjaga untuk 20 tahun berikutnya?” ujarnya.

Di balik refleksi itu, ada satu benang merah: perdamaian lahir bukan hanya dari meja perundingan, tetapi juga dari keberanian untuk percaya dan bekerja sama. Dua puluh tahun setelah perjanjian, Aceh menjadi bukti bahwa luka masa lalu bisa disembuhkan, dan masa depan bisa dibangun dengan damai.