Nasional

Eks Napiter Munir Kartono Berbagi Pengalaman Ikut Program Deradikalisasi

×

Eks Napiter Munir Kartono Berbagi Pengalaman Ikut Program Deradikalisasi

Sebarkan artikel ini
Munir Kartono, eks Napiter kasus pemboman Mapolresta Solo. (Dok/SH.ID).

SinarHarapan.id – Program deradikalisasi adalah pembinaan berkelanjutan bagi narapidana kasus terorisme (napiter) untuk menghilangkan pemahaman radikal terorismenya. Program yang dijalankan oleh BNPT ini terbukti berhasil mentransformasikan dari yang anti-NKRI menjadi agen demokrasi pengusung keberagaman Indonesia.

Kini ada ratusan eks napiter bahkan telah menjadi agen demokrasi dan membantu pemerintah memerangi pemahaman salah, radikal terorisme. Pun jelang Pemilihan Umum (Pemilu), mereka mengajak masyarakat untuk menyukseskan proses demokrasi lima tahunan ini agar berlangsung aman, damai, dan lancar.

Salah satunya adalah Munir Kartono, eks Napiter kasus pemboman Mapolresta Solo. Dalam kasus itu, Munir yang juga sahabat pentolan ISIS Indonesia Bahrun Naim, bertugas mencari pendanaan online melalui bitcoin.

Ditemui di Jakarta, Rabu (23/1/2024), Munir membagikan pengalamannya mengikuti program deradikalisasi. Proses panjang deradikalisasi Munir dimulai selama masa tahanannya, di mana dialog, diskusi, dan brainstorming diadakan oleh pihak BNPT, Densus 88, akademisi, hingga para tokoh agama.

Munir menjelaskan bahwa pembinaan yang ia terima dalam program deradikalisasi diberikan secara berkesinambungan, termasuk ketika berada di dalam lembaga pemasyarakatan (Lapas). Dirinya menambahkan, puncak dari proses deradikalisasinya terjadi ketika ia dipindahkan ke Pusat Deradikalisasi BNPT.

“Di sana saya mendapatkan pembinaan yang komprehensif, mencakup aspek keagamaan, wawasan kebangsaan, dan psikologi, serta melibatkan banyak pihak dari akademisi berpengalaman hingga tokoh masyarakat,” kenang Munir.

Pentingnya pembinaan keagamaan dan wawasan kebangsaan menjadi titik balik baginya. Sebelumnya, Munur menganggap Indonesia sebagai negara thogut yang tidak menjalankan syariat Islam. Namun, pemahaman baru tentang maqashid syariah dan sejarah peran ulama dalam kemerdekaan Indonesia membuka pandangannya.

Munir akhirnya mengubah pandangan radikalnya menjadi pemahaman yang lebih luas dan sesuai dengan semangat Pancasila dan NKRI. Setelah melakukan banyak dialog dan berbagai interaksi dengan para ahli agama dan tokoh masyarakat, ia mengaku bahwa pemahaman yang sebelumnya ia yakini sangat keliru karena membahayakan keselamatan orang lain.

Munir memberikan pandangan terhadap potensi segregasi dalam masyarakat, terutama melalui isu-isu agama dalam konteks pemilihan umum (Pemilu). Ia menyoroti peran tokoh masyarakat dan agama untuk memberikan pencerahan dan pengetahuan kepada masyarakat.

“Masyarakat perlu memahami bahwa pemilihan umum adalah proses berdemokrasi di Indonesia yang telah diatur oleh konstitusi, sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Hal ini tentu tidaklah tepat jika ditabrakkan pada tafsiran agama yang keliru, mengatakan bahwa proses demokrasi tidak sesuai dengan syariat Islam. Justru hal ini dapat membahayakan persatuan Indonesia,” terang Munir.

Ia menambahkan, bahwa diatas konstitusi Indonesia inilah, banyak agama dan kepercayaan yang dijamin untuk bisa tumbuh dan berkembang, termasuk Islam. Oleh karenanya, tidak ada alasan untuk mengklaim bahwa Indonesia adalah negara thogut karena tidak sesuai dengan syariat Islam.

Munir menyampaikan harapannya agar pemilu membawa Indonesia ke arah yang lebih baik dan positif. Ia menegaskan bahwa pemilu tidak berkaitan dengan status keimanan seseorang, dan apapun pilihannya, tidak boleh digunakan untuk memutuskan kekafiran atau keislaman seseorang.

Segregasi seperti ini seringkali sarat dengan kepentingan politik, dan yang paling dirugikan tentu saja adalah masyarakat lapisan terbawah (grass root). Mereka cenderung mudah ditanamkan narasi-narasi yang menyentuh sisi emosionalnya, tanpa mengikutsertakan sisi rasional dalam pengambilan keputusan. Munir berharap agar masyarakat tetap damai dan rukun meskipun memiliki perbedaan pilihan politik. Ia menilai bahwa perbedaan, termasuk dalam pilihan politik, adalah hal yang lumrah dan tidak perlu disikapi dengan cara yang berlebihan.

“Saya berharap, semoga pengalaman yang saya dapatkan bisa memberikan kontra-argumen terhadap narasi radikalisme dan terorisme. Terbukti bahwa program deradikalisasi mampu membawa perubahan pemikiran, dan pendekatan yang komprehensif dapat membawa seseorang kembali ke pangkuan NKRI,” terang Munir.

Lebih lanjut, Munir juga menyinggung deklarasi dukungan yang dilakukan oleh Abu Bakar Baasyir. Dirinya menyoroti hal ini karena deklarasi tersebut dinilai akan memberikan pengaruh terhadap pemahaman kebangsaan banyak pihak, khususnya bagi yang masih meyakini bahwa Indonesia adalah negara thogut.

Munir menilai positif dan optimis terhadap perubahan Abu Bakar Baasyir, meskipun ia pun mengakui bahwa deklarasi tersebut bisa saja memiliki motivasi tertentu. Hal ini juga berlaku bagi tokoh atau kelompok radikal lainnya yang menyatakan kembali ke pangkuan NKRI. Motivasi tiap individu bisa saja terlihat ataupun tidak.

“Perlu diingat bahwa dalam kelompok radikal, terdapat berbagai faksi dan tanggapan yang dapat berbeda-beda terhadap dukungan masing-masing individu kepada Abu Bakar Baasyir. Saya melihat apa yang dilakukan oleh Abu Bakar Baasyir sebagai catatan positif, namun tidak ada salahnya untuk tetap berhati-hati,” kata Munir.  (non)