Network

Gratifikasi Dalam Kasus GP, Merupakan Pintu Masuk Korupsi

×

Gratifikasi Dalam Kasus GP, Merupakan Pintu Masuk Korupsi

Sebarkan artikel ini

SinarHarapan.id – Nama Ganjar Pranowo sedang rame menjadi berita, baik di Medsos maupun dalam bisik-bisik di kalangan elit terkait berita laporan Gratifikasi dana asuransi di BPD Jateng, sebesar Rp 100 M ke Lembaga antirasuah/ KPK, oleh IPW, Sugeng Teguh Santoso termasuk di dalamnya mantan Dirut BPD (Bank Pembangunan Daerah), Jawa Tengah priode, 2014 s/d 2023.

Laporan yang dilayangkan IPW terkait nama Ganjar barangkali bukan yang pertama namun sudah yang kedua. Pertama terkait masalah e KTP yang melibatkan banyak pihak, termasuk Setyo Novanto. Namun kasus terkait e KTP nama Ganjar tidak berlanjut hingga ke proses hukum seperti halnya Setyo Novanto.
Dan lalu diyakini oleh banyak pihak, GP (Ganjar Pranowo) tidak terlibat dalam kasus tersebut. Nyatanya hingga sekarang nama GP tidak ditetapkan sebagai orang yang ikut menikmati – dana – dari hasil bancaan e KTP, walaupun rumornya tidak demikian.

Gratifikasi menurut UU Korupsi.

Dalam undang undang No 31 tahun 1999, tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 28 tahun 1999, tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kedua undang undang ini mengatur wilayah gratifikasi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBB ) Gratifikasi adalah, pemberian uang atau hadiah kepada Pegawai Negeri di luar gaji. Namun dalam uu No. 31 tahun 1999 dan perubahan di UU No 20 tahun 2001, pasal 12 huruf a dan b, dimaknai lebih luas bukan hanya uang atau hadiah akan tetapi meliputi; rabat (discoun), komisi, pinjaman tanpa bunga, pengobatan, perjalanan dll.

Dalam kaitan itu jelas, Pegawai Negeri dan atau penyelenggara negara dilarang menerima hadiah atau janji baik berupa apapun yang tujuannya untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

Gratifikasi pintu masuk kasus Korupsi.

Terkait masalah gratifikasi menurut hukum yang terkadung didalam UU korupsi, mempunyai nuansa hukum yang ranahnya abu-abu walaupun undang-undang melarang namun terdapat pengecualian apabila pemberian itu dilaporkan kepada lembaga negara dalam hal ini KPK maka tidak ada tindak pidana seperti diatur dalam pasal 12 C angka 1 yang isinya : ketentuan yang diatur dalam pasal 12 b ayat ( 1 ) tidak berlaku jika sipenerima gratifikasi melaporkan ke KPK.

Pelaporan yang dimaksud diatur dalam waktu 30 hari sejak diterimanya gratifikasi, pasal 12 huruf C ayat ( 2 ).
Setelah itu KPK akan menentukan sikap barang atau hadiah masuk domaien negara atau si pemerima, pasal 12 C ayat ( 3 ) UU tipikor.

Namun manakala pemberian itu dapat digolongkan akan menjadi masalah apabila, bagi sipenerima gratifikasi :
-Tidak melaporkan vide pasal 12 huruf C ayat ( 2 ).
-Pemberian itu dikuasai untuk menguntungkan diri sendiri dan atau orang lain.

Dengan terpenuhinya minimal dua alasan di atas, maka baru terjadi masalah yang disebut suap dan terpenuhinya tindak pidana korupsi.

Seperti diterangkan dalam tulisan di atas, apabila benar ada pemberian berupa uang atau sejenisnya dalam jumlah Rp. 100. 000.000. 000, ( seratus milyar rupiah ), atau dari bilang pembagi dari seratus milyar, namun pemberian itu tidak dilaporkan ke lembaga penegak hukum dalam hal ini KPK dari rentang waktu 2014, 2015 dan 2023, maka pemberian itu sudah menjadi “ suap “ atau masuk dalam ranah tindak pidana Korupsi.

Untuk meminimalisir dugaan bahwa kasus ini mengada ada dan brrsifat politis, maka untuk menjawab nada nada sumbang KPK harus secepatnya memproses kasus ini sesuai dengan ketentuan hukum berlaku. Dan selanjutnya mengumumkan hasil kerja kepada masyarakat, satu dan lain GP adalah seorang tokoh yang baru baru ini menjadi publik pigur dalam kontestasi Pilpres yang diusunng PDI P, PPP dan Perindo. Sekaligus menepis isue bahwa kasus ini hanya untuk mengalihkan perhatian orang pasca pilpres.

Dari beberapa pemberitaan tentang kasus ini, kita harus apresiasi gerak cepat KPK sebagai lembaga yang dipercaya dalam mengusut kasus ini seperti dilansir sebuah media yang disampaikan Ali Fikri, akan segera memanggil Sugeng Teguh Santoso untuk didengar keterangannya sebagai Pelapor.

Bukan hanya itu saja, KPK juga harus memberi rasa aman terkait Pelapor dari serangan pihak yang dilaporkan. Ini pernah terjadi waktu kasus wamenkumham Prof. Edy juga pihak yang pernah dilaporkan namun, langkah itu dibalas denngan melaporkan balik. Padahal menurut hukum terkait membuat laporan Palsu seperti diatur dalam pasal 317 KUHP baru dapat dilaporkan setelah perkara yang dilaporkan tidak terbukti dengan dikeluarkan sp3. Dan pada peristiwa itu Penyidik dari Mabes tetap menerima Lp dan memprosesnya, barangkali tidak dalam kasus ini. ***

Ditulis oleh, C Suhadi SH MH.
Koord Team Hukum Merah Putih