Nasional

Koalisi Masyarakat Sipil: Hentikan Penggusuran di Padang Halaban

×

Koalisi Masyarakat Sipil: Hentikan Penggusuran di Padang Halaban

Sebarkan artikel ini

Koalisi masyarakat sipil mengecam tindakan penggusuran yang dilakukan PT. Sinar Mas Agro Resources and Technology (PT. SMART) terhadap warga di Perkebunan Padang Halaban, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara.

(Foto: Amnesty International Indonesia)

SinarHarapan.id – Koalisi masyarakat sipil mengecam tindakan penggusuran yang dilakukan PT. Sinar Mas Agro Resources and Technology (PT. SMART) terhadap warga di Perkebunan Padang Halaban, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara.

Perlawanan warga, terutama yang tergabung dalam Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya (KTPH-S), telah berlangsung lama.

Enam desa terdampak penggusuran paksa pada 1969-1970, yaitu Sidomulyo, Karang Anyar, Sidodadi/Aek Korsik, Purworejo/Aek Ledong, Kartosentono/Brussel, dan Sukadame/Panigoran. Luas lahan yang mereka tempati mencapai 3.000 hektare.

Sejak masa pendudukan Jepang, warga telah menggarap dan bermukim di wilayah tersebut. Pada masa kolonial, lahan ini merupakan perkebunan sawit dan karet milik perusahaan Belanda-Belgia.

Seiring waktu, wilayah itu berkembang menjadi dusun dan lahan pertanian masyarakat.

Baca Juga: Amnesty International Kecam Intimidasi Terhadap Pelajar Papua

Kebijakan yang Mengabaikan Hak Warga

Pemerintahan Orde Baru lebih berpihak kepada korporasi dibanding masyarakat. Pemerintah menerbitkan Hak Guna Usaha (HGU) yang mencakup lahan yang telah lama dihuni warga. Sejak 1970, warga berjuang untuk mendapatkan kembali hak atas tanah mereka. Namun, hingga kini, mereka masih menghadapi ketidakpastian hukum.

Pada 2009, warga dari enam desa secara kolektif menduduki kembali (reclaiming) lahan seluas 83,5 hektare dari total 3.000 hektare yang telah menjadi HGU PT. SMART. Langkah ini dilakukan akibat kebuntuan proses hukum dan ketidakjelasan status tanah mereka.

Putusan Pengadilan Merugikan Warga

Sementara itu, Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat pada 2014, diperkuat oleh Putusan Pengadilan Tinggi Medan pada 2015 dan Mahkamah Agung pada 2016, semakin merampas harapan warga. Putusan No. 488/PAN.PN/W2.U13/HK2/II/2025 menetapkan eksekusi penggusuran pada 28 Februari 2025.

Padahal, selama ini, warga telah menjadikan lahan tersebut sebagai tempat tinggal dan sumber penghidupan. Mereka bertani untuk memenuhi kebutuhan hidup.

“Kami hanya ingin mempertahankan tanah ini untuk anak cucu kami,” ujar salah satu warga. Bagi mereka, tanah ini bukan sekadar tempat tinggal, tetapi bagian dari identitas dan sejarah mereka.

Selain itu, mereka adalah korban pelanggaran HAM berat pada 1965-1966. Penggusuran ini semakin memperparah ketidakadilan yang mereka alami.

Ancaman Kekerasan di Lapangan

Saat ini, aparat kepolisian dan tentara ada di lokasi. Alat berat juga telah ada di sekitar permukiman warga. Situasi ini meningkatkan kekhawatiran akan terjadinya kekerasan yang lebih besar.

Oleh karena itu, koalisi masyarakat sipil menyerukan solidaritas dari seluruh elemen masyarakat. “Jika penggusuran ini tidak dihentikan, pelanggaran HAM berat bisa terulang,” tegas salah satu aktivis.

Tuntutan Koalisi Masyarakat Sipil

Koalisi Masyarakat Sipil menuntut agar pihak terkait segera mengambil langkah-langkah. Antara lain, PT. SMART harus menghentikan seluruh proses penggusuran, terutama menjelang bulan Ramadhan.

Kepolisian Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia harus segera menarik pasukan dari Perkebunan Padang Halaban.

Juga, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/BPN harus melindungi hak warga atas tanah serta mencabut izin HGU PT. SMART.

Lalu, Komnas HAM harus melakukan pemantauan, memastikan perlindungan HAM bagi warga, serta mendesak kepolisian dan tentara menarik pasukannya dari lokasi.

Jika tuntutan ini tidak di penuhi, masyarakat sipil akan terus mengawal perjuangan warga Perkebunan Padang Halaban demi keadilan yang telah lama mereka nantikan.