SinarHarapan.id – Amnesty International Indonesia mendesak Komisi III DPR RI untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap para mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI).
Sejumlah korban memberikan kesaksian dalam audiensi dengan Komisi III di Gedung DPR RI hari ini, Senin (21/4).
Penyiksaan
Dalam pertemuan dengan Komisi III, para korban menceritakan perlakuan tidak manusiawi yang mereka alami saat masih menjadi bagian dari OCI.
Salah satu korban mengaku telah di paksa berlatih sejak usia lima tahun. Selama bertahun-tahun, mereka di pukuli, di setrum, di paksa bekerja dalam kondisi sakit, dan bahkan di pisahkan dari anaknya setelah melahirkan. Sejumlah korban juga mengaku pernah di paksa memakan kotoran hewan.
Baca Juga: Amnesty International Indonesia: Stop Intimidasi TNI di Kampus
Pengakuan ini memperkuat laporan sebelumnya yang telah di ajukan ke Komnas HAM pada 1997. Kala itu, Komnas menyatakan OCI telah melakukan pelanggaran HAM terhadap anak-anak yang menjadi pemain sirkus.
Namun, penyelidikan hukum oleh Mabes Polri yang sempat di buka kemudian di hentikan pada 1999 dengan alasan kurangnya alat bukti.
Komisi III Harus Bentuk Tim Pencari Fakta
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyebut audiensi hari ini sebagai momen penting dalam perjuangan korban mendapatkan keadilan. Ia mendesak Komisi III untuk memanggil Kepolisian RI guna mempertanyakan penghentian penyidikan pada tahun 1999.
“Komisi III harus meminta Kapolri membuka kembali penyidikan agar kegagalan negara di masa lalu tidak terulang,” ujar Usman. Ia juga mendorong Komisi III untuk membentuk tim pencari fakta (TPF) guna menyelidiki dugaan pelanggaran HAM berat yang di alami para korban.
Menurutnya, pembentukan TPF merupakan langkah penting untuk mengungkap peristiwa kelam ini secara menyeluruh dan independen. Tim tersebut akan membantu mengungkap kegagalan negara dalam melindungi hak anak dan pekerja sejak dekade 1970-an.
Komnas HAM dan Polri Harus Bergerak Paralel
Selain mendesak langkah dari Komisi III, Amnesty juga meminta Komnas HAM membentuk tim penyelidikan pro-justisia. Tim ini harus dapat menjamin bahwa penyelidikan berjalan objektif, independen, dan berpihak kepada korban. Polri pun di nilai tetap memiliki kewajiban untuk menyelidiki kasus ini secara terpisah.
“Kita tidak boleh membiarkan kekerasan dan eksploitasi semacam ini tenggelam begitu saja. Semua lembaga negara harus bertindak,” tegas Usman.
Pemulihan dan Audit Perusahaan Jadi Tanggung Jawab Negara
Lebih jauh, Usman menekankan pentingnya akses pemulihan yang layak bagi para korban. Bentuk pemulihan ini harus meliputi aspek hukum, psikologis, dan sosial. Ia menilai negara tidak boleh hanya mengejar proses hukum, tetapi juga harus mengakui penderitaan korban dan menjamin mereka dapat melanjutkan hidup secara bermartabat.
Kasus ini, menurut Amnesty, seharusnya menjadi evaluasi menyeluruh atas kelalaian negara dalam memastikan perlindungan warga dari eksploitasi dan penyiksaan.
Oleh karena itu, Amnesty mendesak DPR RI agar mendorong pemerintah melakukan audit berkala terhadap perusahaan dalam hal kepatuhan pada hukum ketenagakerjaan dan HAM.
Pelanggaran HAM Berat Tak Bisa Diabaikan
Hak untuk bebas dari penyiksaan, kata Usman, adalah hak fundamental yang tidak boleh dikurangi dalam kondisi apapun. Oleh sebab itu, dugaan pelanggaran terhadap hak ini harus ditindak sebagai pelanggaran HAM berat.
“Pelanggaran ini tidak hanya soal kekerasan fisik. Ini soal martabat manusia yang diinjak-injak selama puluhan tahun. Negara tidak bisa berpaling,” kata Usman menutup pernyataannya.
Pengakuan Pengelola dan Jejak Lama Kasus
Pada 17 April lalu, salah satu pengelola OCI mengakui kepada media bahwa anak-anak yang tampil di sirkus kerap di pukul dengan rotan sebagai bentuk pendisiplinan. Namun, ia membantah adanya penyiksaan dan mengklaim para pemain di perlakukan layaknya keluarga.
Namun catatan sejarah menunjukkan bahwa Komnas HAM pernah menyelidiki kasus ini pada 1997. Penyelidikan pidana oleh kepolisian saat itu berakhir tanpa proses hukum lanjutan. Kini, dua puluh lima tahun kemudian, para korban kembali bersuara dengan harapan negara akhirnya benar-benar mendengar.