SinarHarapan.id – Amnesty International Indonesia mengecam penangkapan seorang mahasiswi berinisial SSS oleh Bareskrim Polri terkait penyebaran meme hasil modifikasi foto Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Presiden ke-7 Joko Widodo yang menggambarkan keduanya berciuman. Organisasi ini menilai tindakan tersebut sebagai bentuk kriminalisasi kebebasan berekspresi.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyebut penangkapan itu sebagai contoh terbaru dari praktik otoritarianisme yang masih dilakukan aparat, khususnya di ruang digital. “Kali ini, polisi menggunakan dalih kesusilaan untuk menekan ekspresi damai. Padahal, satir dan meme politik bukan tindak pidana,” ujar Usman dalam pernyataannya, Jumat (9/5).
Ia menegaskan bahwa tindakan Polri tersebut bertentangan dengan semangat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menilai keributan di media sosial bukanlah delik pidana. Menurutnya, pembangkangan terhadap putusan MK mencerminkan sikap represif aparat penegak hukum terhadap kritik publik.
“Negara tidak boleh anti-kritik, apalagi menggunakan hukum sebagai alat pembungkaman,” kata Usman. Ia menambahkan, kriminalisasi berbasis Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) bukan hanya menghukum korban, tapi juga menimbulkan dampak psikologis bagi keluarga mereka.
SSS ditangkap atas dugaan pelanggaran Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1) UU ITE mengenai penyebaran konten bermuatan kesusilaan, serta Pasal 51 ayat (1) jo Pasal 35 mengenai manipulasi informasi elektronik. Jika terbukti bersalah, ia terancam hukuman maksimal 12 tahun penjara dan/atau denda Rp12 miliar.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri menyatakan, meme yang diduga dibuat dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan (AI) itu dianggap mengandung unsur pelanggaran kesusilaan dan manipulasi data elektronik.
Amnesty mencatat sepanjang 2019 hingga 2024 terdapat setidaknya 530 kasus kriminalisasi kebebasan berekspresi melalui UU ITE, dengan 563 orang menjadi korban. Dari jumlah tersebut, patroli siber Polri disebut sebagai pelapor terbanyak, disusul oleh laporan dari pemerintah daerah.
“Kriminalisasi seperti ini hanya menciptakan iklim ketakutan dan membungkam kritik. Ini taktik yang kejam dan tidak manusiawi,” pungkas Usman.