SinarHarapan.id – Keputusan Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo pada peringatan Hari Pahlawan, 10 November 2025, memantik gelombang penolakan dari organisasi hak asasi manusia dan kelompok pro-reformasi.
Amnesty International Indonesia bersama Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menyebut langkah tersebut sebagai “pemutarbalikan sejarah” dan “penghinaan terhadap jutaan korban pelanggaran HAM” selama rezim Orde Baru. Mereka menilai pemberian gelar pahlawan ini mengaburkan nilai-nilai reformasi 1998 yang menuntut supremasi hukum, akuntabilitas, serta penghentian praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
“Bukan Kesalahan, Melainkan Kejahatan Berat”
Dalam pernyataan publiknya, koalisi mengecam keras pelabelan Soeharto sebagai pahlawan. Mereka menekankan bahwa pelanggaran yang terjadi semasa kekuasaan Orde Baru merupakan kejahatan berat terhadap kemanusiaan, bukan sekadar “kesalahan yang bisa dimaafkan”.
“Filosofi kebudayaan tanpa fondasi moral universal akan membuat bangsa kehilangan kemampuan membedakan benar dan salah. Itu jalan menuju malapetaka,” demikian tertulis dalam pernyataan tersebut.
Koalisi menilai penghargaan terhadap Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo justru menormalisasi impunitas, sebab hingga kini tak satu pun pelaku pelanggaran HAM berat di era Orde Baru diproses secara hukum. Negara, menurut mereka, seharusnya berpihak kepada korban, bukan sebaliknya.
Rentetan Pelanggaran HAM yang Diingat Publik
Dalam pernyataannya, AKSI dan Amnesty menyinggung sederet peristiwa pelanggaran HAM yang dikaitkan dengan pemerintahan Soeharto. Antara lain:
-
Pembantaian massal 1965–1966
-
Penembakan misterius (Petrus) 1982–1985
-
Tragedi Tanjung Priok 1984 dan Talangsari 1989
-
Kekerasan negara di Aceh, Timor Timur, dan Papua
-
Penghilangan paksa aktivis pro-demokrasi 1997–1998
Meskipun negara telah mengakui berbagai tragedi tersebut sebagai pelanggaran HAM berat — termasuk melalui pernyataan Presiden Joko Widodo pada Januari 2023 — langkah konkret berupa penegakan hukum dan pemulihan bagi korban dinilai belum hadir.
Isu Nepotisme dan Konflik Kepentingan
Penolakan juga diarahkan pada dugaan konflik kepentingan dalam proses penganugerahan gelar tersebut. Koalisi menyoroti hubungan kedekatan Presiden Prabowo dengan keluarga Cendana, serta dukungan Menteri Agraria dan Tata Ruang sekaligus Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang disebut memiliki kepentingan keluarga karena Sarwo Edhie Wibowo adalah kakeknya.
“Ini bukan sekadar penghargaan negara, tetapi mengirim pesan bahwa kekuasaan dan kedekatan keluarga kembali menjadi faktor utama penentuan kebijakan publik,” tulis mereka, menyebut keputusan ini sebagai bentuk kemunduran demokrasi dan reformasi.
Kekhawatiran Soal Penulisan Ulang Sejarah
Amnesty dan AKSI juga menyoroti risiko lebih luas: rekonstruksi ulang narasi sejarah Indonesia oleh negara. Mereka mengaitkan pemberian gelar ini dengan proyek penulisan ulang sejarah nasional yang dipimpin oleh Menteri Kebudayaan—yang juga termasuk dalam pihak yang mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan.
Langkah ini dikhawatirkan akan menghapus memori kolektif tentang kekerasan negara, perjuangan korban, dan gerakan demokratis yang melawan otoritarianisme era Orde Baru.
“Semua ini membentuk ekosistem impunitas yang sempurna,” ujar koalisi.
Desakan Pembatalan Gelar
Dalam pernyataannya, organisasi-organisasi tersebut menyampaikan lima tuntutan kepada pemerintah:
-
Membatalkan gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo.
-
Mengusut kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu di era Orde Baru.
-
Menegakkan hukum dan memulihkan martabat korban pelanggaran HAM berat.
-
Menolak manipulasi sejarah dan glorifikasi pelaku pelanggaran HAM, baik melalui kebijakan kebudayaan, pendidikan, maupun narasi resmi negara.
-
Mengembalikan cita-cita reformasi 1998, termasuk pemberantasan KKN, penegakan HAM, dan supremasi hukum.
Suara Moral untuk Ingatan Kolektif
Pernyataan yang ditandatangani Marzuki Darusman (Ketua AKSI), Ita Fatia Nadia (Sekretaris AKSI), dan Usman Hamid (Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia) itu mengakhiri seruannya dengan kalimat yang menegaskan pentingnya kejujuran sejarah.
“Negara tidak boleh berpihak pada pelaku, melainkan pada kebenaran dan para korban. Mengabaikan sejarah berarti mengkhianati masa depan.”






