SinarHarapan.id – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendorong perlindungan hak masyarakat hukum adat (MAH) di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan MHA oleh Kementerian Dalam Negeri, ditindaklanjuti oleh KKP dengan menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 8 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penetapan Wilayah Kelola MHA dalam Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
“Perlindungan dan pengakuan ini dilakukan sebagai upaya pelestarian eksistensi MHA dan hak tradisionalnya seiring dengan perkembangan zaman,” kata Victor Gustaaf Manoppo, Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam acara Forum Adat 2024, Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat: Membangun Kebijakan Inklusif di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kamis (15/8).
Keberadaan Masyarakat Hukum Adat (MHA) memiliki pengetahuan dan nilai sosio-budaya yang perlu diakui dan dilestarikan dengan dukungan berbagai pihak.
Menurunnya kondisi lingkungan dan ekosistem laut dari berbagai aktivitas antropogenik, tumpang tindih pengelolaan dan konflik kepentingan, serta kawasan tertinggal, menjadi salah satu contoh kendala yang dihadapi MHA, saat ini.
KKP berupaya melindungi eksistensi MHA melalui regulasi, mengacu pada Permendagri No. 52 Tahun 2014 terkait pengakuan subjek hukum MHA dan diperkuat Permen KP No.8/2018 terkait penetapan wilayah kelola MHA.
Rancangan Akhir RPJMN 2025-2045 telah memasukkan Budaya Bahari dan Masyarakat Hukum Adat (MHA) dalam rencana jangka panjang, yang mencakup pemberdayaan melalui penjaminan hak berkebudayaan, kebebasan ekspresi, dan pemberdayaan MHA di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Penjaminan hak berkebudayaan dan pemberdayaan MHA, ini meliputi pemberdayaan masyarakat dan komunitas adat, perlindungan dan pengelolaan wilayah adat, penguatan dan peningkatan kompetensi SDM MHA.
Pengakuan dan perlindungan MHA memerlukan kolaborasi erat dan inklusif antara berbagai pihak, yang meliputi Kemendagri, BAPPENAS, KKP, dan lintas kementerian dan lembaga lainnya serta mitra NGO/CSO.
Kolaborasi ini penting untuk memastikan hak-hak masyarakat hukum adat terpenuhi, menjaga keberlanjutan wilayah mereka, dan melestarikan kearifan lokal yang ada, termasuk potensial untuk kontribusi menjaga kelestarian ekosistem yang sejalan dengan Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan 2025-2045.
Pembelajaran terkait pendampingan, pemberdayaan, dan penguatan MHA di Suku Byak Karon (Kabupaten Tambrauw), dan MHA Wabula (Kabupaten Buton), menjadi contoh baik bagaimana kolaborasi, koordinasi, serta sinergi bersama antara beberapa pemangku kepentingan (pemerintah, akademisi, NGO/CSO, dan MHA) dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan, dalam upaya mendorong adanya komunitas MHA yang kuat dan berdikari.
Hasil yang diharapkan dari Forum Adat adalah masyarakat hukum adat yang dapat tetap mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal, pengelolaan berkelanjutan, meningkatkan kemitraan dan kemandirian bertransformasi menjadi masyarakat yang maju dan berkembang.
Sejumlah tindak lanjut yang direncanakan dari Forum Adat 2024 antara lain, mendorong adanya inisiatif pengakuan masyarakat hukum adat yang berdomisili di wilayah pesisir yang berpotensi sebagai MHA dan mendorong terintegrasinya wilayah kelola MHA di laut ke dokumen RTRW melalui instrumen hukum yang berlaku.
Selain itu juga membentuk wadah untuk menaungi kolaborasi, koordinasi, dan sinergi antara pemerintah pusat (KKP, Kemendagri, Kemendes, dan BAPPENAS), pemerintah daerah, pemerintah desa, akademisi, NGO/CSO, lembaga MHA, serta lembaga-lembaga lain yang relevan, sebagai usaha percepatan pembangunan kapasitas dan kualitas MHA di WP3K utamanya di daerah terpencil, terluar, dan tertinggal.
Serta mempercepat implementasi dan prioritas program untuk harmonisasi upaya perlindungan dan pengakuan MHA secara kolaboratif yang diupayakan oleh berbagai pihak. (nat)