Network

Politik Dinasti Seperti Cermin Retak

×

Politik Dinasti Seperti Cermin Retak

Sebarkan artikel ini

SinarHarapan.id – Santernya berita dinasti politik akhir akhir ini membuat banyak orang bertanya tanya arti dari dinasti itu, karena pada tataran pemahaman akhir akhir ini maknanya gado gado dan tergantung kebutuhan dari pihak yang memaknai dinasti itu. Karena istilah dinasti yang akhir akhir ini yang berkembang bukan pada esensi dinastinya sebagai tujuan akan tetapi ungkapan dinasti telah menjadi rule of the game sebagai alat penyerang bagi lawan lawan politik. Terutama Presiden terkait peran Gibran dalam kontestasi politik nasional.

Dengan begitu apabila makna “ dinasti “ itu sebagai rule of the game bukan lagi menjadi pemahaman ke ilmuan terukur yang kita dapat, akan tetapi menghasilkan kerancuan yang tidak tidak jelas bagi pihak lain sehingga terjadi perbantahan antara satu dengan lainnya.

Dinasti pada hakekatnya bukan sistem pemerintahan akan tetapi merupakan “ bagian “ dari sistem pemerintahan yang menganut sistem Monarki atau Kerajaan. Dimana dalam sistem ini awalnya Raja berkuasa penuh dalam memimpin negara dan tersentralistik pada satu orang, lambat laun seiring berjalannya waktu Raja sebagai pemimpin disuatu negara tidak lagi berkuasa penuh dan kemudian kekuasaan tidak tersentralistik disatu orang karena seperti diketahui kekuasaan terbagi antara Raja dengan Perdana biasanya seperti di Negera ( persemakmuran ) Inggris, Ratu Elizabet kala itu hanya simbolis namun keberadaan ke pimpinan dalam menjalankan roda pemerintahan berada di Perdana Menteri. Demikan juga di Belanda, kekuasaan Raja hanya sekian persen dan selebihnya kekuasaan pemerintahan ditangan Perdana Menteri.

Dari sistem monarki diatas sifat dinastinya adalah pada kekuasaan Raja atau Ratu yang berlaku secara turun temurun dan tidak tergantikan. Seperti di Inggris yang sangat kental ke Monarkiannya, waktu Ratu Elizabet wafat, tongkat kekuasaan langsung jatuh kepada anaknya yaitu, Pangeran Charles anak tertua Ratu Elizabet naik menggantikan sang Ibu menjadi Raja Inggris

Penobatan Pangeran Charles menjadi Raja tidak melalui pemilihan, akan tetapi langsung berdasarkan hubungan darah antara orang tua dan anak.
Kemudian pada abad ke 17 Inggris tidak lagi menganut Monarki Tunggal dimana kekuasaan hanya tersentralistik kepada Raja, akan tetapi menganut Monarki Konstitusional, yang artinya kekuasaan Raja atau Ratu hanya simbolis karena tugas pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri.

Atas dasar tulisan diatas apa yang disebut dengan dinasti dapat tergambar bahwa dinasti harus memenuhi syarat :
-turun temurun dalam meraih kekuasaan.
-harus mempunyai hubungan darah,
-dalam meraih kekuasaan tidak perlu melalui pemilihan dan mengenal adanya hak dipilih dan memilih.
Apabila memenuhi alasan tersebut, maka seseorang dalam meraih kekuasaan digolongkan dalam paham dinasti.

Apabila masalah ini dihubungkan antara pemahaman dinasti dengan sistem perpolitikan di Indonesia yang menganut pemilihan langsung baik Pileg ( pemilu legislatif ) Pilpres ( Pemilu Presiden ) dan pemliu lainnya. Pemilihan langsung artinya hak memilih dan dipilih diletakkan pada rakyat bukan pada garis silsilah baik dari unsur keturunan maupun garis darah sebagaimana politik dinasti yang melekat pada konsep Monarki.

Adapun peran partai ( parpol ) hanya untuk mengusung seseorang untuk menjadi -apa- namun kemudian setelah itu penentu diujung pertandingan semua ada ditangan rakyat yang memilihnya.

Karena hak memilih dan dipilih diletakkan pada kekuasaan Rakyat, bukan pada kekuasaan yang bersifat serta merta, namun melalui proses panjang yang tidak mudah didapat. Kalau peran partisipasi rakyat ada namun kurang syarat yang ditentukan atau tidak memenuhi syarat, sudah dipastikan seseorang itu tidak akan terpilih. Demikian sebaliknya, apabila syarat keterpilihan sesuai dengan ketentuan yang ada ( aturan uu ) sudah dipastikan orang itu akan terpilih.

Dengan menganut prinsip pemilihan langsung secara langsung telah memotong jalur dinasti. Sebab dalam paham kekiniannya peran atau pesan yang hendak disampaikan tidak mempunyai benang merah yang langsung melekat kepada seseorang dalam meraih kekuasaannya, Karna Baju Partai dan Vigur hanya akan menjadi semacam simbol bahwa seseorang itu bukan siapa siapa apabila masyarakat tidak memilih sang calon.

Politik dinasti pernah ditatur dalam uu no. 8 tahun 2015, perubahan dari Perpu no.1 tahun 2014, Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, pada pasal 7 huruf R yang bunyinya antara lain sebagai berikut :
Tidak memiliki kepentingan dengan pertahana.
Aturan pada pasal uu ini oleh MK dianggap bertentangan dengan UUD 45 dan oleh MK dibatalkan dalam putusan No. 33/PUJ- XIIi/2015, dan kala itu Ketua MK adalah Arief Hidayat.
Dengan putusan ini menurut Arief TIDAK ada lagi Politik Dinasti yang berlaku di Indonesia. Malah dalam suatu pendapatnya sebagai ahli Prof Saidi mengatakan;
Politik dinasti tidak proporsional, karena baginya menurut ahli “ setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya.

Barangkali dengan memakai alasan ini, parpol parpol besar menerapkan politik dinasti. Dan anehnya semua pada diam. termasuk Gunawan Muhamad sang Kolonnis di Majalalah Tempo dan mengaku relawan Jokowi hingga berdarah darah. Tapi tidak kepada Presiden Jokowi, dunia mau runtuh dibuatnya olah baik yang menerapkan politik dinasti maupun kalangan akademisi. Memang lucu bangsa ini, kita tertawa dalam ketidak mengertian. ***

Ditulis olah : C. Suhadi SH MH
Koor. Team Hukum Merah Putih,