Nasional

Serangan Digital terhadap Aktivis Pemilu, Amnesty Desak Pengusutan Tuntas

×

Serangan Digital terhadap Aktivis Pemilu, Amnesty Desak Pengusutan Tuntas

Sebarkan artikel ini

Amnesty International Indonesia menilai, tindakan yang dialami Neni merupakan bentuk pelanggaran kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi, dan mendesak aparat penegak hukum untuk mengusut kasus ini secara menyeluruh.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid. (Foto: SH/Hima Maitreya)

SinarHarapan.id – Serangkaian serangan digital yang dialami aktivis pemilu Neni Nur Hayati memicu keprihatinan serius dari Amnesty International Indonesia. Lembaga tersebut menilai, tindakan yang dialami Neni merupakan bentuk pelanggaran kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi, dan mendesak aparat penegak hukum untuk mengusut kasus ini secara menyeluruh.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan bahwa peretasan dan penyebaran data pribadi terhadap Neni tidak bisa dipandang sebagai insiden biasa.

“Ini adalah serangan terhadap kebebasan sipil dan menunjukkan kemunduran iklim kebebasan berekspresi di Indonesia,” kata Usman, Rabu (17/7/2025).

Menurut dia, kritik yang disampaikan warga negara seharusnya dijawab secara substantif, bukan dibalas dengan intimidasi digital. Ia menegaskan, kegagalan aparat dalam mengusut pelaku hanya akan memperkuat persepsi bahwa hukum tidak berlaku bagi mereka yang menyerang kebebasan berekspresi.

“Jika ruang berekspresi terus dibungkam, kita akan mundur ke zaman otoritarianisme yang seharusnya sudah kita tinggalkan,” tambahnya.

Amnesty menegaskan, negara seharusnya hadir melindungi warga, bukan justru membiarkan atau terlibat dalam upaya pembungkaman suara kritis.

Rentetan Serangan

Neni Nur Hayati, Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, melaporkan kepada Amnesty bahwa dirinya mengalami serangan digital bertubi-tubi selama tiga hari terakhir, sejak 15 Juli 2025. Serangan tersebut berupa doxing, ujaran kebencian, serta peretasan akun media sosial miliknya, termasuk akun Instagram @neni1783 dan TikTok @neninurhayati36.

Serangan mulai terjadi usai Neni mengunggah video di TikTok pada 5 Mei 2025, yang menyoroti potensi ancaman buzzer terhadap demokrasi. Dalam video tersebut, Neni tidak menyebut nama kepala daerah secara spesifik, melainkan memberikan peringatan umum kepada para pejabat terpilih hasil Pemilu 2024.

Namun demikian, pada 16 Juli, foto pribadi Neni tiba-tiba muncul dalam unggahan akun media sosial resmi milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat, seperti Diskominfo Jabar, jabarprovgoid, humas_jabar, dan jabarsaberhoaks. Unggahan itu memuat klarifikasi Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM) yang membantah penggunaan anggaran pemerintah untuk buzzer, disertai penayangan wajah Neni tanpa izin darinya.

Amnesty telah memverifikasi unggahan video klarifikasi tersebut melalui akun Instagram @diskominfojabar. Dalam konten yang dapat diakses melalui tautan https://www.instagram.com/reel/DMJpANzzZK0/?igsh=aXBxdjl5NHB2Zmxq, terlihat penjelasan KDM mengenai anggaran media, disertai foto Neni sebagai ilustrasi.

Sejak itu, akun-akun media sosial milik Neni dibanjiri hujatan dan komentar bernada kasar. Ia juga mengaku tidak dapat mengakses akun WhatsApp maupun TikTok miliknya, yang diduga telah diretas.

Tren Mengkhawatirkan

Amnesty International Indonesia mencatat, kasus yang dialami Neni bukan yang pertama terjadi tahun ini. Sepanjang Januari hingga Juli 2025, lembaga tersebut mendokumentasikan sedikitnya 16 kasus serangan digital yang menargetkan 17 pembela hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.

Usman Hamid menekankan bahwa serangan digital terhadap aktivis bukan hanya menyasar individu, tetapi juga mengancam demokrasi secara menyeluruh.

“Kebebasan berekspresi, sebagaimana diatur Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), mencakup segala bentuk informasi dan gagasan, termasuk yang dianggap mengejutkan atau mengganggu,” tegas Usman.

Ia menambahkan, hak ini berlaku terlepas dari apakah informasi tersebut benar ataupun tidak, dan negara wajib menjamin perlindungannya.