Berita

Tanamkan Nilai Toleransi dan Nasionalisme di Keluarga, Bentuk Karakter Anak

×

Tanamkan Nilai Toleransi dan Nasionalisme di Keluarga, Bentuk Karakter Anak

Sebarkan artikel ini
Tika Bisono: Latar belakang paham kekerasan adalah sifat agresif yang sarat pemaksaan. Sifat agresif, koersif, intimidatif, pemaksaan, merupakan elemen-elemen yang ada di violence atau tindak kekerasan. (Dok/SH.ID).

SinarHarapan.id – Anak-anak adalah harapan Indonesia dalam menjawab tantangan dunia di masa yang akan datang. Karena itu orang tua harus memberi dukungan dan pola pendidikan yang tepat agar mampu membentuk karakter anak secara sehat, jauh dari sifat agresif yang cenderung mengarahkan anak pada tindak kekerasan.

Psikolog Dra. Tika Bisono, M.PsiT., menjelaskan bahwa penelitian terkait kekerasan yang dilakukan anak-anak sudah banyak. Ada korelasi antara pelaku kekerasan yang telah dewasa dengan miskinnya pemahaman toleransi yang ditanamkan ketika anak-anak masih kecil. Di usia dini, sangat mudah memupuk berbagai pemahaman terhadap anak, tak terkecuali paham kekerasan.

“Latar belakang paham kekerasan adalah sifat agresif yang sarat pemaksaan. Sifat agresif, koersif, intimidatif, pemaksaan, merupakan elemen-elemen yang ada di violence atau tindak kekerasan. Jika dipupuk atau diberi ruang, maka yang akan terjadi adalah distorsi pemahaman, bahwa kekerasan itu adalah cara satu-satunya untuk mendapatkan hal yang diinginkan,” ujar Tika di Jakarta, Jumat (6/10/2023).

Menurutnya, seseorang yang jalan pikirannya sudah didominasi oleh paham kekerasan, akan menolak penyelesaian masalah atau pencapaian tujuan dengan cara yang toleran. Pun ketika ia menemukan hambatan dalam proses yang dijalani, ia akan memaksa pihak lain untuk setuju dengannya.

“Mereka yang agresif akan menganggap bahwa sifat toleransi itu menunjukkan kelemahan pemiliknya,” tukas pelantun lagu ‘Ketika Senyummu Hadir’ ini. Sebenarnya, lanjut Tika, toleransi membuat posisi seseorang setara dengan orang lain. Orang yang agresif akan melihat bahwa untuk mendapatkan kendali, ia tidak boleh setara dengan sesamanya. Posisi orang yang mengendalikan ada di atas yang dikendalikan. Tentunya sangat berbahaya jika ada lembaga pendidikan anak di Indonesia yang justru menanamkan prinsip kekerasan dan intoleransi sedari dini.

“Mereka yang berpaham kekerasan sebenarnya sudah melanggar empat pilar kebangsaan, yaitu UUD 45, Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Kalau sudah seperti itu maka tidak ada tempat di Indonesia,” tutur Tika.

Ia menambahkan, jika ada yang bisa diapresiasi pada masa pemerintahan Orde Baru, maka itu akan tertuju pada penekanan rasa nasionalisme yang sangat baik. Di zaman itu, pernah ada Undang-Undang anti-Subversif yang membatasi ruang gerak kaum radikal. Ketegasan

“Pemerintah kala itu dalam menjaga keutuhan NKRI perlu diacungi jempol, walaupun tetap ada hal yang harus dikritisi,” terang Tika. Aktivis pemerhati isu anak dan toleransi ini juga mengungkapkan bahwa sebenarnya sudah ada puluhan sekolah yang ia temukan mengajarkan paham intoleransi dan kekerasan. Untuk itu, pemerintah perlu melihat langsung ke sekolah-sekolah itu untuk menemukan adanya pelanggaran kurikulum pendidikan.

“Hal yang kami khawatirkan adalah beberapa sekolah ini sudah tidak menjadikan Pancasila sebagai landasan bernegara. Bahkan dari lembaga pendidikan ini ada yang sudah mulai mengajarkan teknik bersenjata dan berperang pada anak didiknya. Materi pelajaran agama yang berisi kisah para nabi justru tidak diambil sifat-sifat teladan mereka, namun dibelokkan untuk membakar semangat berperang,” imbuh Tika.

Berkaca pada negara-negara maju, menurutnya cara Indonesia menanamkan rasa nasionalisme pada generasi muda masih kurang baik. Sebagai contoh, sebelum pelajaran sekolah di mulai, siswa Amerika Serikat mengucapkan sumpah setia (pledge) terhadap negaranya.

“Tiap ingin memulai kegiatan belajar, para siswa di Amerika selalu mengucapkan ‘I pledge allegiance to the flag of the United States of America and to the Republic for which it stands under God indivisible with liberty and justice for all.’ Hampir semua siswa di sana, baik yang pribumi maupun pendatang, itu bisa hafal kalimat sumpahnya di luar kepala. Penanaman nasionalisme seperti ini yang saya rasa belum dimiliki oleh sistem pendidikan di Indonesia,” tambah Tika.

Ia berharap semua orang tua di Indonesia bisa menanamkan rasa nasionalisme dan toleransi yang tinggi kepada anak-anaknya. Semangat kebhinekaan nyatanya hanya ditemukan di Indonesia, bahkan beberapa negara lain justru iri melihat Indonesia yang warganya bisa membaur antar etnis.

“Di Singapura dan Malaysia, sangat susah menyatukan etnis India, Tiongkok, dan Melayu. Mereka tidak punya nilai kebangsaan yang bisa mempersatukan perbedaan etnisnya. Mereka pun iri melihat Indonesia yang walaupun terdiri dari banyak etnis dan suku bisa sepakat untuk bersatu dan menggunakan bahasa yang sama, bahasa Indonesia. Ini jelas tidak akan kita temukan dimanapun kecuali hanya di Indonesia,” pungkas Tika.  (non)