SinarHarapan.id – Di hadapan para mahasiswa dan pemimpin muda ASEAN, Samdech Akka Moha Sena Padei Techo Hun Sen berbicara perlahan. Lelaki yang kini menjabat Presiden Senat Kerajaan Kamboja itu menyambut hadirin dengan senyum tenang, meski kisah yang ia sampaikan sarat luka, intrik, dan keberanian mengambil risiko besar di usia muda.
“Um, today… I am truly delighted…” katanya membuka kuliah kepemimpinan di ERIA School of Government, Jakarta. Bukan sekadar basa-basi. Bagi Hun Sen, menceritakan kembali proses perdamaian di Kamboja berarti membuka kembali lembar-lembar masa muda yang penuh ancaman, perpecahan, dan keputusasaan.
Hun Sen menjadi Perdana Menteri saat usianya baru 32 tahun. Namun jauh sebelum itu, ia sudah terlibat dalam diplomasi dan pertempuran sejak usia 25. Pada masa itu, Kamboja adalah negeri yang compang-camping akibat kekejaman Khmer Merah dan tarik-menarik kepentingan negara-negara besar. Ia menyebutnya sebagai “a very bumpy and dangerous road”—jalan yang penuh jebakan dan ketidakpastian.
Baca Juga: Prabowo Terima Kunjungan Hun Sen di Istana Merdeka
“Tidak ada konsensus di dalam negeri,” kenangnya. Ia mengusulkan untuk bernegosiasi tanpa melibatkan faksi Khmer Merah. Ia juga mendorong pengakuan atas kepemilikan tanah, yang berarti mengenalkan ekonomi pasar ke negeri yang lama dikuasai sistem sosialis ketat. Bagi sebagian koleganya, gagasan itu terdengar seperti pengkhianatan.

Bahkan dua menteri kunci dalam kabinetnya menolak gagasan tersebut. “Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan tidak setuju,” ujarnya. Maka, keduanya diganti. Keputusan yang tidak ringan, tapi menjadi krusial agar reformasi bisa jalan. Ia bahkan kembali memegang langsung portofolio pertahanan untuk memastikan garis kebijakannya tak disabotase dari dalam.
Soft Diplomacy dalam Geopolitik yang Rumit
Namun Hun Sen menegaskan, di tengah bayang-bayang kehadiran pasukan Vietnam dan bantuan dari Uni Soviet, Kamboja tetap berdaulat. “Vietnam dan Soviet menghormati kemerdekaan dan kedaulatan kami dalam menentukan masa depan bangsa,” tegasnya. Kata-kata ini mencerminkan diplomasi halus (soft diplomacy) yang ia mainkan dalam geopolitik rumit kawasan kala itu.
Bagi Hun Sen, perdamaian tidak lahir dari retorika, melainkan keberanian mengambil keputusan tidak populer. Ia menyebut pendekatannya sebagai “mengakhiri perang lewat negosiasi, bukan lewat senjata.” Konsep yang saat itu masih di anggap utopia oleh banyak pihak, kini menjadi tonggak dalam sejarah rekonsiliasi Kamboja.
Kini, 30 tahun setelah pemilu bebas pertama berlangsung di negaranya, Hun Sen berdiri sebagai saksi hidup atas transisi yang nyaris mustahil: dari negara penuh kekerasan menjadi anggota komunitas ASEAN yang stabil.
“Pengalaman Kamboja tak bisa di terapkan mentah-mentah di negara lain,” katanya. Tapi kisah itu, menurut Hun Sen, bisa memberi pelajaran penting: perdamaian adalah pilihan, bukan takdir.