SinarHarapan.id – Pemerintah Indonesia mendesak Uni Eropa (UE) menghormati keputusan Panel Sengketa Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait biodiesel. Putusan panel yang diumumkan 26 September 2025 itu menegaskan Indonesia tidak melakukan subsidi ilegal, sekaligus memenangkan gugatan Indonesia atas kebijakan bea masuk imbalan (countervailing duties/CVD) UE.
Namun, sikap UE yang tetap mengajukan banding atas putusan tersebut menuai penyesalan dari pemerintah. Banding itu diajukan ke Badan Banding WTO, lembaga yang saat ini tidak dapat berfungsi akibat kekosongan keanggotaan.
“Keputusan UE untuk mengajukan banding tidak relevan. Panel sudah bekerja sesuai prosedur dengan panelis berpengalaman. Langkah ini kurang sejalan dengan semangat memperkuat hubungan ekonomi,” kata Menteri Perdagangan Budi Santoso di Jakarta, Kamis (2/10).
Sengketa panjang biodiesel
Sengketa biodiesel Indonesia dengan UE bukanlah hal baru. Sejak November 2019, UE memberlakukan bea masuk imbalan antara 8–18 persen terhadap produk biodiesel Indonesia. Kebijakan itu didasarkan pada tudingan bahwa pemerintah memberi subsidi yang merugikan industri biodiesel Eropa.
Baca Juga: Targetkan Net Zero Emission, Indonesia Optimalkan Potensi Bioenergi
Indonesia menolak tuduhan tersebut. Pada Agustus 2023, pemerintah mengajukan gugatan resmi ke WTO. Setelah melalui proses hampir dua tahun, Panel WTO memutuskan Indonesia memenangkan perkara DS618 pada Agustus 2025.
Keputusan itu memberi harapan baru bagi keberlanjutan industri biodiesel nasional, yang sejak lama menjadi salah satu andalan ekspor nonmigas Indonesia.
Pertanyakan komitmen Eropa
Meski menghormati hak prosedural UE, pemerintah menilai langkah banding ini menimbulkan pertanyaan mengenai komitmen Eropa terhadap sistem perdagangan multilateral. Pasalnya, Badan Banding WTO tidak dapat berfungsi sejak Amerika Serikat memblokir pengisian kursi hakim.
“Banding memang hak setiap anggota WTO. Namun, dalam kondisi saat ini, banding bisa dilihat hanya sebagai cara mengulur waktu,” ujar Budi.
Ia menambahkan, sikap itu berpotensi merusak kepercayaan dan menghambat penyelesaian sengketa secara adil. Indonesia, lanjut dia, justru mendorong UE untuk bekerja sama mengadopsi putusan panel sekaligus mendukung perbaikan sistem penyelesaian sengketa WTO.
Nilai strategis biodiesel
Biodiesel menjadi salah satu komoditas strategis Indonesia. Selain berperan penting dalam bauran energi domestik, produk ini juga menyumbang devisa besar.
Ekspor biodiesel ke pasar Eropa tercatat bernilai miliaran dolar AS setiap tahun sebelum diberlakukannya CVD. Kebijakan bea masuk yang tinggi sejak 2019 menekan volume ekspor, sehingga putusan WTO kali ini dianggap sebagai peluang untuk merebut kembali pasar.
“Pemerintah akan mengambil langkah strategis agar akses pasar biodiesel Indonesia ke Eropa tetap terjamin, bahkan meluas. Ini penting bukan hanya bagi industri, tetapi juga petani sawit yang menjadi bagian dari rantai pasok,” tegas Budi.
Jalan diplomasi
Selain jalur hukum, Indonesia juga menyiapkan langkah diplomasi ekonomi. Pemerintah akan terus mengedepankan dialog dengan UE, baik secara bilateral maupun melalui forum multilateral.
“Indonesia tidak ingin sengketa ini sekadar soal menang atau kalah. Yang lebih penting adalah kepastian hukum, akses pasar, dan hubungan ekonomi yang sehat,” kata Budi.
Ke depan, pemerintah berharap putusan WTO menjadi momentum memperkuat daya saing biodiesel nasional. Dengan dukungan regulasi internasional, industri energi terbarukan ini diharapkan memberi manfaat lebih luas bagi perekonomian, sekaligus mendukung komitmen global dalam transisi energi.