SinarHarapan.id – Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar yang menjatuhkan hukuman tujuh bulan penjara kepada empat aktivis politik asal Sorong kembali memantik sorotan atas praktik pembatasan kebebasan berekspresi di Tanah Papua. Amnesty International Indonesia menilai vonis tersebut mengulang pola kriminalisasi terhadap warga yang menyampaikan pendapatnya secara damai.
Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena, menyebut langkah hukum itu “mempertegas bagaimana ekspresi politik damai di Papua kerap dijawab dengan kriminalisasi.” Keempat aktivis tersebut, Abraham Goram Gaman, Piter Robaha, Nikson Mai, dan Maksi Sangkek—dituduh melakukan makar setelah mendatangi sejumlah kantor pemerintahan di Sorong untuk mengantarkan surat berisi aspirasi dan klaim politik.
Menurut Amnesty, tindakan itu tidak mengandung kekerasan dan berada dalam koridor kebebasan berekspresi yang dijamin Konstitusi. Pasal 28E Undang-Undang Dasar 1945, serta Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi Indonesia, menjamin hak warga untuk menyampaikan pendapat secara damai.

“Pengadilan seharusnya menjadi tempat terakhir mencari keadilan berbasis HAM, bukan alat membatasi suara politik orang asli Papua,” ujar Wirya. Ia menilai penggunaan pasal makar dalam kasus ini merupakan bentuk perluasan tafsir terhadap perbuatan yang sebenarnya tidak memenuhi unsur “kejahatan terhadap keamanan negara.”
Vonis dan Dakwaan
Putusan dibacakan pada 19 November 2025. Sebelumnya, jaksa menuntut hukuman delapan bulan penjara serta biaya perkara Rp 5.000. Mereka menilai para aktivis bersalah melakukan makar sebagaimana diatur dalam Pasal 106 jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Akar perkara bermula pada 14 April 2025 ketika keempatnya mendatangi sejumlah kantor pejabat di Sorong—mulai dari Kantor Wali Kota, Kantor Gubernur Papua Barat Daya, Majelis Rakyat Papua, hingga Polda dan Polresta. Mereka membawa surat dari Presiden Negara Federasi Republik Papua Barat (NFRPB), Forkorus Yaboisembut, berisi pernyataan politik serta ajakan perundingan damai kepada Presiden Republik Indonesia.
Polisi kemudian menangkap mereka pada 28 April, menyita sejumlah dokumen organisasi, serta pakaian dinas yang disebut menyerupai atribut aparat keamanan. Meski tempat kejadian perkara berada di Sorong, proses persidangan dipindahkan ke Makassar sejak Agustus tanpa alasan resmi yang dijelaskan secara detail. Keluarga dan warga sempat memprotes pemindahan tersebut.
Kontradiksi Kebijakan
Amnesty menilai vonis ini tidak sejalan dengan pemberian amnesti Presiden kepada enam tahanan politik kasus serupa pada Agustus lalu. “Inkonsistensi negara dalam menghadapi ekspresi politik damai hanya memperlihatkan rapuhnya penghormatan terhadap HAM,” kata Wirya.
Organisasi itu menegaskan tidak mengambil posisi atas status politik daerah mana pun di Indonesia, termasuk Papua. Namun, mereka menyoroti bahwa ekspresi politik tanpa kekerasan merupakan hak yang harus dijamin sepenuhnya.
Seruan Pembebasan Tanpa Syarat
Amnesty mendesak pemerintah segera membebaskan keempat aktivis tersebut tanpa syarat. Menghukum warganya karena menyampaikan pendapat secara damai, menurut Wirya, hanya akan memperlebar jarak antara masyarakat Papua dan negara, serta menghambat upaya penyelesaian konflik secara damai.
“Tidak ada satu pun warga negara, termasuk orang asli Papua, yang boleh dipidana karena mengemukakan aspirasi politiknya,” ujarnya.









