SinarHarapan.id – Rencana pemerintah memberikan amnesti kepada sekitar 44 ribu narapidana memunculkan perdebatan serius terkait akar permasalahan sistem hukum di Indonesia. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai langkah tersebut hanya solusi pragmatis untuk mengurangi kelebihan kapasitas lapas tanpa menyentuh persoalan utama di hulu.
Menurut Usman, kebijakan pemidanaan terhadap pengguna narkotika, terutama pengguna untuk keperluan pribadi, menjadi salah satu penyebab utama penuhnya penjara. “Negara perlu beralih ke pendekatan berbasis bukti yang melindungi kesehatan masyarakat dan hak asasi manusia, bukan hanya mengedepankan pemidanaan,” ujarnya.
Amnesty International juga mendesak revisi atau penghapusan aturan yang sering di gunakan untuk mengkriminalisasi kritik damai. Salah satu contohnya adalah UU ITE, yang terus memakan korban, seperti Septia Dwi Pertiwi, yang dituntut satu tahun penjara hanya karena mengkritik upah di bawah standar. “Ini momentum bagi pemerintah untuk menunjukkan komitmennya terhadap hak asasi manusia,” tambah Usman.
Baca Juga: Amnesty International Kritik Pidato Yusril di Hari HAM
Selain UU ITE, aturan seperti pasal penghinaan presiden dan pasal-pasal makar juga perlu di hapuskan. Aturan ini kerap di gunakan untuk menekan suara kritis, khususnya di Papua dan Maluku. Usman menegaskan bahwa mereka yang dipenjara karena menyampaikan ekspresi politik damai harus segera di bebaskan. Amnesty International menganggap mereka sebagai tahanan hati nurani.
Meski pemerintah menyebut amnesti ini sebagai langkah kemanusiaan dan rekonsiliasi, solusi ini bersifat sementara jika akar masalah tidak di sentuh. Pengalaman pemberian amnesti kepada Baiq Nuril pada 2019 dan Saiful Mahdi pada 2021 membuktikan bahwa jumlah korban UU ITE tetap bertambah.
Hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi di jamin oleh Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Pasal 28E dan 28F UUD 1945. Kebijakan amnesti baru bisa di katakan menghormati HAM jika di iringi dengan reformasi hukum yang komprehensif untuk melindungi kebebasan berekspresi.