Nasional

Amnesty International: Akhiri Impunitas, Adili Pelanggaran TNI

×

Amnesty International: Akhiri Impunitas, Adili Pelanggaran TNI

Sebarkan artikel ini

Kasus Penembakan Polisi di Lampung oleh Anggota TNI

Foto: Ilustrasi.

SinarHarapan.id – Tiga polisi tewas akibat penembakan saat menggerebek judi sabung ayam di Lampung pada 17 Maret 2025. Korban adalah Kapolsek Negara Batin AKP Lusiyanto, Aipda Petrus Apriyanto, dan Briptu M Ghalib Surya Ganta. Hasil autopsi mengungkapkan ketiganya tewas akibat luka tembak di area vital. AKP Lusiyanto tertembak di dada kanan, Aipda Petrus di mata kiri, dan Briptu Ghalib di bibir kiri.

Terduga pelaku adalah Peltu Lubis, Dansubramil Negara Batin, dan Kopka Basarsyah, anggota Subramil Negara Batin. Keduanya kini ditahan di Polisi Militer Angkatan Darat Mako Kodim 0427/Way Kanan guna pemeriksaan lebih lanjut.

Kasus ini menambah daftar panjang pembunuhan di luar hukum oleh aparat TNI dan Polri. Amnesty International Indonesia mencatat sejak Januari hingga Maret 2025 telah terjadi 9 kasus dengan 11 korban jiwa akibat tindakan aparat.

Seruan Amnesty International untuk Mengadili di Peradilan Umum

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menegaskan perlunya pengadilan umum bagi pelaku. “Kasus ini memperlihatkan bahwa aparat yang dipersenjatai negara menyalahgunakan wewenang untuk melakukan pembunuhan di luar hukum,” ujar Usman Hamid.

Baca Juga: Sekjen Amnesty International Kunjungi Indonesia Bahas HAM

Menurut Usman, budaya impunitas di tubuh TNI dan Polri memperburuk situasi. “Pelaku harus di adili di peradilan umum, bukan peradilan militer yang cenderung tertutup dan tidak transparan,” tambahnya.

Amnesty International mendesak pemerintah dan DPR untuk merevisi Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Revisi ini harus memastikan pelanggaran pidana umum oleh personel militer diproses melalui pengadilan umum, sesuai dengan amanat Undang-Undang TNI No. 34 Tahun 2004.

Budaya Impunitas di Tubuh TNI dan Polri

Kasus penembakan di Lampung menjadi pengingat serius akan dampak impunitas di tubuh aparat keamanan. Amnesty International mencatat sepanjang tahun 2024 terjadi 55 kasus pembunuhan di luar hukum oleh aparat. Sebanyak 10 pelaku berasal dari TNI, 29 dari kepolisian, dan 3 dari pasukan gabungan TNI-Polri.

Beberapa kasus serupa juga terjadi di awal 2025. Pada 2 Januari, dua anggota TNI AL menembak mati seorang bos rental mobil di Tangerang.

Lalu, pada 31 Januari, seorang perempuan tewas di bunuh kekasihnya, anggota TNI AD berpangkat Pratu di Tangerang Selatan. Pada 15 Maret, seorang Kelasi Dua TNI AL menembak mati seorang pekerja sales mobil di Aceh Utara.

“Pembunuhan di luar hukum oleh aparat terus terjadi seakan tidak mengenal kata henti,” tegas Usman Hamid.

Peran TNI dalam Urusan Sipil Perlu Dibatasi

Amnesty International menilai kasus penembakan di Lampung menunjukkan bahaya militerisasi dalam urusan sipil. “Tanpa revisi UU TNI, aparat militer telah menyalahgunakan senjata untuk melakukan intervensi dalam penegakan hukum,” ujar Usman.

Usman menambahkan bahwa institusi TNI harus secara terbuka menjelaskan peran anggotanya dalam kasus ini. “TNI harus bertanggung jawab dan transparan dalam menyikapi keterlibatan anggotanya dalam kasus judi sabung ayam ini,” kata Usman.

Masuknya militer ke dalam urusan sipil meningkatkan risiko pelanggaran hak asasi manusia. Amnesty International menilai penguatan dwi fungsi TNI hanya akan memperparah militerisasi di ruang sipil.

Evaluasi Penggunaan Senjata Api oleh Aparat

Kemudian, Amnesty International menyoroti perlunya evaluasi besar-besaran terhadap penggunaan senjata api oleh aparat. Penggunaan senjata api di luar tugas dinas berpotensi di salahgunakan untuk tindakan kriminal.

“Institusi seperti TNI dan Polri harus berhenti menggunakan istilah ‘oknum’ untuk menutupi kesalahan anggotanya,” tegas Usman Hamid. Menurutnya, istilah tersebut kerap di gunakan untuk menghindari tanggung jawab institusi terhadap pelanggaran anggotanya.

Usman menegaskan, “Lingkaran impunitas ini harus segera di hentikan agar tidak ada lagi korban jatuh akibat penyalahgunaan wewenang oleh aparat.”

Desakan Reformasi Peradilan Militer

Sementara itu, Amnesty International menegaskan bahwa reformasi peradilan militer adalah solusi utama untuk menghentikan impunitas. “Pelanggaran pidana umum  oleh militer harus di proses di pengadilan umum, bukan peradilan militer,” tegas Usman Hamid.

Menurut Usman, pengadilan militer cenderung tertutup dan tidak transparan, sehingga sulit menjamin keadilan bagi korban. “Revisi UU Peradilan Militer adalah kunci untuk memastikan keadilan bagi para korban,” tambahnya.

Kemudian, reformasi juga penting untuk memperbaiki ketidakjelasan peran militer dalam urusan sipil. “Hanya dengan reformasi menyeluruh kita dapat mengakhiri impunitas yang telah berlarut-larut,” tegas Usman.

Pada akhirnya, kasus penembakan tiga polisi di Lampung oleh anggota TNI menjadi peringatan serius akan bahaya impunitas di tubuh aparat. Amnesty International mendesak pengadilan umum untuk mengadili pelaku, bukan peradilan militer.

Reformasi peradilan militer dan evaluasi penggunaan senjata api oleh aparat menjadi langkah penting untuk menghentikan lingkaran impunitas dan memastikan keadilan bagi korban.