SinarHarapan.id – Amnesty International Indonesia menyebut 40 tahun impunitas tragedi Tanjung Priok sebagai kebijakan Pancasila yang belum terkoreksi.
“Negara memiliki hutang keadilan yang amat besar. Sama seperti kasus Munir dan tragedi Semanggi II yang juga terjadi di bulan ini, negara gagal mengungkap tuntas tragedi Priok, menuntut pelakunya, dan mengoreksi kebijakan yang menyebabkan tragedi itu. Kasus Priok terjadi akibat kebijakan monolitik negara yang represif atas nama Pancasila,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid memperingati 40 tahun terjadinya tragedi Tanjung Priok, Kamis (12/9).
Tragedi Tanjung Priok yang terjadi pada 12 September, 40 tahun lalu merupakan kasu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang pernah masuk proses hukum melalui Pengadilan HAM ad hoc di Jakarta pada 2003. Pada pengadilan tingkat pertama, 12 terdakwa dinyatakan bersalah. Saat itu, negara diinstruksikan memberi kompensasi, restitusi, serta rehabilitasi kepada korban dan keluarganya.
Komnas HAM menyatakan setidaknya 55 orang terluka dan 23 orang meninggal dunia akibat tindakan represif negara dalam tragedi Tanjung Priok yang berlangsung hari ini 40 tahun lalu. Banyak orang ditangkap tanpa proses hukum yang jelas, dan beberapa di antaranya bahkan hilang.
Namun pada 2005, Pengadilan Tinggi Jakarta membebaskan para terdakwa. Jaksa kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Sebelumnya pada 2004, Danjen Kopasus Mayjen Sriyanto maupun Mantan Kapomdam Mayjen (Pur) Pranowo juga divonis bebas.
“Selama empat dekade negara kehilangan kesempatan untuk menghidupkan kembali dasar negara yang inklusif, yaitu Pancasila. Tanpa menuntaskan Tragedi Priok, maka sulit berharap Pancasila kembali menjadi filosofi berbangsa yang memuliakan persaudaraan universal dan keadilan sosial, sebagaimana pesan Paus Fransiskus dan Imam Besar Masjid Istiqlal baru-baru ini. Kasus Priok menjadi bagian dari sejarah kelam bangsa ini,” kata Usman Hamid.
Pada 2006, Mahkamah Agung menolak permintaan jaksa untuk membatalkan keputusan bebas tersebut, dengan alasan bahwa kasus itu bukan merupakan pelanggaran HAM karena korbannya adalah warga sipil yang juga bersenjata, sehingga harus diproses di pengadilan pidana dan bukan di pengadilan HAM ad hoc. Putusan bebas tersebut mencabut kewajiban negara untuk memberikan ganti rugi kepada korban dan keluarganya, termasuk kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.
“Mereka yang terlibat masih lolos dari hukum dan yang pernah diproses berujung bebas. Mantan petinggi kebijakan dan pemegang komando keamanan yang bertanggung jawab tidak dituntut. Ini membuat impunitas di negara ini semakin mengakar,” kata Usman.
Amnesty International dalam dokumen berjudul “Statement of Amnesty International’s Concerns in Indonesia” (1985) mengungkap bahwa pasukan keamanan saat itu menembaki kerumunan umat Muslim yang tengah menggelar aksi protes ke kantor polisi dan markas Kodim Jakarta Utara untuk menuntut pembebasan empat orang yang ditahan.
Akibatnya, sebanyak 30 orang ditembak dan tewas, dan lebih dari 200 orang ditangkap. Mereka yang ditangkap dituduh menyerang aparat, menghancurkan properti, dan menyebarkan kabar bohong berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Beberapa lainnya mendapat tuduhan subversi, yaitu dakwaan yang dapat diganjar hukuman maksimal berupa hukuman mati, seperti yang diatur dalam Dekrit Presiden 11/1963 atau dikenal dengan “Undang-undang Anti Subversi.”
“Kami mendesak negara segera membuka kembali kasus ini dan mengusut tuntas siapa yang paling bertanggungjawab. Pengakuan 12 pelanggaran berat HAM oleh pemerintah tidak cukup untuk memberi rasa keadilan bagi korban. Proses yudisial harus tetap dilakukan, apalagi tragedi Tanjung Priok tidak termasuk 12 pelanggaran berat HAM yang diakui,” kata Usman Hamid.
“Di saat bersamaan, negara gagal untuk memulihkan reparasi yang layak bagi para korban. Yang tidak kalah penting, komitmen serius penyelesaian pelanggaran berat HAM mutlak diperlukan dari Presiden dan DPR. Itu termasuk harus segera meratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Setiap Orang dari Penghilangan Paksa (ICPPED). Di kasus ini juga terdapat penghilangan paksa. Kejahatan kemanusiaan seperti Tragedi Priok tidak boleh terulang,”
Kasus Tanjung Priok, pembantaian 1965, Semanggi II dan pembunuhan Munir mencerminkan kelamnya bulan September dalam sejarah Indonesia. Karena itulah, banyak kelompok dari generasi muda menyebut bulan ini sebagai September Hitam. (nat)