SinarHarapan.id – Institut Sokola dari Indonesia menjadi salah satu penerima Penghargaan Literasi Internasional 2024 kategori Literasi Konfusius  yang diberikan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization/UNESCO).

Institut Sokola dari Indonesia mendapat pengakuan dengan program pendidikan literasinya yang unik, yang dirancang khusus untuk masyarakat adat, mendemonstrasikan pendekatan inovatif dalam pendidikan multibahasa dan pengembangan literasi berkelanjutan.

Audrey Azoulay, Direktur Jenderal UNESCO, memberikan Penghargaan Literasi Internasional 2024 kepada enam program literasi luar biasa dari Austria, Mesir, Ghana, Indonesia, Nigeria, dan Panama.

Para penerima penghargaan dipilih berdasarkan rekomendasi dari juri internasional, inisiatif-inisiatif ini diberikan pengakuan atas kontribusi luar biasa mereka dalam memajukan literasi global.

Program literasi dari Institut Sokola, ‘Pendidikan literasi Sokola untuk masyarakat adat Indonesia’ , merupakan buah dari pengalaman yang melebihi dari 20 tahun dalam mengajar masyarakat lokal.

Program literasi ini tercipta dari hubungan erat antara pendiri institut dan komunitas adat Orang Rimba di hutan Sumatra, Indonesia. Terbenam dalam kehidupan sehari-hari Orang Rimba, para pendiri mengawali perjalanan penuh penemuan dan inovasi.

Melalui berbagai proses percobaan, mereka menyusun metode membaca dan menulis yang unik, yang menggabungkan Bahasa ibu komunitas dengan fonetik lokal, sehingga menciptakan pengalaman belajar yang sesuai dengan kebutuhan Orang Rimba.

Pendekatan khusus ini terbukti sangat berhasil sehingga telah ditiru di daerah lain di seluruh Indonesia. Program ini adalah hasil dari pengalaman lebih dari 20 tahun dalam mengajar masyarakat lokal.

Dimulai dengan penilaian yang menyeluruh terhadap kebutuhan komunitas, program ini bergantung pada guru sukarelawan yang tinggal di dalam komunitas adat tersebut.

Guru-guru ini mendalami budaya lokal, mempelajari dan menggunakan bahasa masyarakat lokal dalam pengajaran mereka. Guru-guru ini juga menghormati dan mengintegrasikan pengetahuan serta cara hidup setempat.

Sebagai contoh, karena Masyarakat adat ini melakukan kegiatan seperti berburu dan Bertani pada waktu-waktu tertentu, pengajaran literasi dijadwalkan mengikuti aktivitas-aktivitas tersebut, hal ini memastikan bahwa praktik lokal dan warisan budaya tetap terjaga.

Dengan memadukan pendekatan etnografi, program ini diorganisasikan dalam tiga tahap pengembangan literasi. Dimulai dengan penguasaan keterampilan membaca dan menulis dasar, berlanjut ke literasi terapan, dan berpuncak pada pengorganisasian dan advokasi.

Tahapan pembelajaran ini membekali anggota masyarakat dengan pengetahuan dan keterampilan untuk mengatasi maslaah setempat, termasuk keterampilan komunikasi untuk mengungkapkan kekhawatiran, pemetaan partisipatif, dan pembuatan film komunitas.

Dengan cara tersebut, program tersebut memberdayakan individu untuk menyelesaikan masalah melalui keterlibatan langsung dengan berbagai pemangku kepentingan.

Alat digital juga diintegrasikan ke dalam proses pembelajaran untuk menumbuhkan pemahaman bersama melalui komunikasi antargenerasi dan antarkomunitas.

Misalnya, siswa dalam program Sokola belajar untuk mengeksplorasi cerita, menghubungkannya dengan adat istiadat setempat, mewawancari para tetua untuk mendapatkan wawasan dari perspektif mereka, dan menyajikan temuan mereka baik di dalam komunitas maupun sebagai bagian dari kampanya media sosial.

Pendekatan program ini mencerminkan pandangan UNESCO tentang literasi sebagai suatu rangkaian pembelajaran dan kemahiran dalam membaca, menulis, dan berhitung.

Program ini mencakup lebih dari sekadar keterampilan dasar, tetapi juga mencakup literasi digital, literasi media, Pendidikan untuk Pembangunan berkelanjutan, Masyarakat global, dan keterampilan khusus untuk pekerjaan.

Dalam kolaborasi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Institut Sokola berkomitmen untuk melanjutkan advokasinya demi pengakuan dan perlindungan system pengetahuan lokal, yang merupakan hak milik masyarakat adat.

Marlina Manurung, salah satu pemimpin program, berharap agar pemangku kepentingan eksternal seperti perawat kesehatan, pemimpin sekolah, dan pejabat pemerintah daerah akan lebih terlibat dalam pengembangan praktik Pendidikan yang diciptakan bersama dengan masyarakat adat.

Keterlibatan ini bertujuan untuk memberdayakan masyarakat dalam mengatasi tantangan mereka, dan meminimalisir marginalisasi, serta mempromosikan perdamaian.

Penghargaan Literasi Internasional UNESCO 2024 diberikan kepada enam program dalam dua kategori. Hadiah Literasi Konfusius UNESCO, yang disponsori oleh China, menyoroti program literasi fungsional yang menggunakan alat digital untuk orang dewasa di daerah pedesaan dan pemuda yang tidak bersekolah.

Penerima penghargaan adalah program ‘Pendidikan literasi Sokola untuk masyarakat adat Indonesia’ dari Indonesia, ‘Proyek Pemberantasan Buta Huruf’ dari Mesir, dan program ‘FastTrack’ dari Nigeria, masing-masing mendapatkan US$30.000, medali, dan diploma.

Kategori kedua, Hadiah Literasi King Sejong UNESCO, yang didukung oleh Korea Selatan. Pemenangnya termasuk jaringan pendidikan ‘voXmi’ dari Austria, ‘Perpustakaan Tanpa Dinding’ dari Ghana, dan ‘ProEd LECTO LABS’ dari Panama, masing-masing menerima US$20.000, medali, dan diploma.

Tema tahun ini, ‘Mendorong pendidikan multibahasa: Literasi untuk pemahaman bersama dan perdamaian’ menekankan bahwa pendekatan multibahasa tidak hanya penting dalam pengembangan kompetensi literasi; pendekatan ini juga mendukung dialog antarbudaya, pemahaman bersama, dan perdamaian. (nat)