SinarHarapan.id – Demonstrasi menolak revisi UU TNI berlangsung di beberapa kota seperti Jakarta, Medan, Bandung, Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, dan Manado. Protes yang awalnya damai berubah menjadi ricuh akibat tindakan keras aparat. Polisi menggunakan gas air mata, meriam air, dan pentungan untuk membubarkan massa.
Amnesty International Indonesia mencatat penggunaan kekuatan berlebihan terjadi di berbagai kota. “Teror, intimidasi, dan kekerasan terhadap aktivis, jurnalis, dan mahasiswa adalah pelanggaran hak asasi manusia,” kata Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.
Kekerasan Terhadap Demonstran dan Warga Sipil
Di Jakarta, Amnesty International mencatat setidaknya empat orang terluka akibat tindakan keras aparat. Tiga mahasiswa berinisial D, DH, dan RR mengalami luka pukulan di kepala, lengan, dan tubuh. “Kami di pukuli dengan pentungan saat polisi membubarkan massa,” kata DH.
Baca Juga: Amnesty International: Akhiri Impunitas, Adili Pelanggaran TNI
Seorang pengemudi ojek online di Jakarta juga menjadi korban kekerasan. Dia di keroyok sejumlah polisi yang menuduhnya sebagai peserta demo. Luka-luka di kepala dan tangan membuatnya harus menjalani perawatan medis.
Di Semarang, demonstrasi di depan Gedung DPRD Jawa Tengah berakhir ricuh setelah polisi membubarkan massa dengan gas air mata. Empat orang ditangkap, termasuk dua mahasiswa, seorang sopir mobil komando, dan operator pengeras suara.
Situasi serupa terjadi di Yogyakarta. Polisi menembakkan meriam air untuk membubarkan massa. “Kami terpaksa menyelamatkan diri ke rumah sakit,” kata seorang peserta aksi di Yogyakarta.
Di Manado, tiga mahasiswa di tahan dan mengalami intimidasi selama pemeriksaan. Seorang mahasiswa mengaku menerima pukulan di dada dan perut sebelum di seret ke mobil polisi.
Intimidasi Terhadap Jurnalis dan Aktivis
Intimidasi tidak hanya di alami demonstran, tetapi juga jurnalis dan aktivis. Di Jakarta, seorang jurnalis IDN Times di intimidasi saat merekam aksi pembubaran. Polisi mencoba merebut paksa ponsel dan kunci motornya.
Serangan juga menyasar jurnalis perempuan FCR, host siniar Bocor Alus Politik (BAP) dari Tempo. Dia menerima paket berisi kepala babi. “Ini serangan terhadap kebebasan pers, yang seharusnya menjadi pilar keempat demokrasi,” kata Usman Hamid.
Tempo di kenal sebagai media yang kritis terhadap isu-isu strategis, termasuk penolakan terhadap revisi UU TNI. “Teror ini jelas bertujuan menciptakan iklim ketakutan bagi jurnalis,” tambahnya.
Dampak Revisi UU TNI Terhadap Ruang Sipil
Revisi UU TNI membuka peluang bagi anggota militer aktif untuk menduduki jabatan sipil. Menurut Usman Hamid, situasi ini memperbesar potensi dominasi militer di ruang sipil. “Militerisasi ruang sipil bisa memperkuat praktik otoriter dan menekan suara-suara kritis,” ujarnya.
Penggunaan kekuatan berlebihan dalam aksi protes melanggar berbagai ketentuan hukum. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menjamin kebebasan berkumpul dan berpendapat. Polisi juga melanggar UU No. 12/2005 tentang Hak-Hak Sipil dan Politik serta Pedoman Dasar PBB tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api (1990).
Desakan untuk Mengusut Kekerasan dan Intimidasi
Amnesty International mendesak kepolisian untuk mengusut tindakan kekerasan dan intimidasi. “Negara harus menjamin kebebasan berpendapat dan melindungi kebebasan pers,” kata Usman Hamid.
Tindakan represif aparat menandai kemunduran demokrasi di Indonesia. “Negara tidak boleh tinggal diam. Segera usut dan proses hukum aparat yang terlibat dalam tindakan represif ini,” tegas Amnesty International.
Kecaman Terhadap Dominasi Militer di Ruang Sipil
Aktivis dan masyarakat sipil menilai revisi UU TNI sebagai ancaman terhadap kebebasan sipil. “Ini awal yang buruk bagi masa depan demokrasi Indonesia,” kata seorang aktivis.
Pada akhirnya, revisi ini membuka jalan bagi militer aktif untuk menduduki jabatan sipil. “Dominasi militer di ruang sipil bisa mengancam kebebasan berpendapat dan kebebasan pers,” kata Usman Hamid.
Kebebasan berpendapat adalah hak konstitusional warga negara. “Negara harus menjamin kebebasan untuk menyampaikan pendapat tanpa rasa takut dan ancaman,” tegas Amnesty International.