SinarHarapan.id – Dua insiden penembakan oleh aparat kepolisian di Kota Semarang dan Kabupaten Bangka Barat pada Minggu (24/11) kembali mengangkat urgensi reformasi dalam prosedur kepolisian di Indonesia. Kedua insiden tersebut menambah panjang daftar kasus pelanggaran oleh aparat yang menyebabkan hilangnya nyawa warga sipil. Sebuah pola kekerasan yang dapat menjadi sistemik.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menegaskan bahwa kedua kasus ini memperlihatkan pelanggaran serius terhadap prinsip penggunaan kekuatan dan senjata api. Seperti dalam standar hukum nasional dan internasional.
Pelanggaran HAM yang Berulang
Di Semarang, penembakan terhadap tiga remaja—yang mengakibatkan satu korban meninggal dunia—memicu pertanyaan besar mengenai klaim polisi bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk melerai tawuran. Sementara itu, saksi di lokasi menyatakan tidak ada kejadian tawuran, mengindikasikan kemungkinan ketidaksesuaian antara fakta lapangan dan narasi aparat.
Baca Juga: Amnesty International Tuntut Keadilan Atas Serangan Prajurit TNI
Di Bangka Barat, tindakan polisi yang menembak mati seorang warga yang diduga mencuri kelapa sawit, meski setelah 12 tembakan peringatan dilepaskan, mencerminkan penggunaan kekuatan yang berlebihan. Penembakan terhadap individu yang tidak bersenjata dan tidak membahayakan jiwa aparat jelas melanggar prinsip nesesitas dan proporsionalitas.
Kegagalan Sistemik dan Akuntabilitas
Amnesty International mencatat 31 kasus pembunuhan di luar hukum oleh aparat sepanjang 2024, termasuk delapan kasus dalam sebulan terakhir. Sebagian besar kasus ini melibatkan personel Polri. Kegagalan untuk memastikan akuntabilitas atas kasus-kasus ini berpotensi memperparah budaya impunitas di tubuh kepolisian.
Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Pasal 28A dan 28I UUD 1945 menegaskan hak untuk hidup sebagai hak yang tidak dapat di kurangi dalam kondisi apapun. Pelanggaran terhadap hak ini oleh negara menunjukkan kegagalan untuk mematuhi standar hukum nasional maupun internasional.
Langkah yang Mendesak
Amnesty International Indonesia mengajukan sejumlah rekomendasi untuk mencegah berulangnya insiden serupa. Pertama, Investigasi Independen: Komnas HAM harus memimpin penyelidikan menyeluruh, imparsial, dan transparan terhadap kedua kasus ini.
Kedua, Evaluasi Internal Polri: DPR RI dan Kompolnas harus mengevaluasi kepemimpinan dan kinerja Polri, termasuk prosedur pengawasan penggunaan senjata api.
Ketiga, Reformasi Regulasi: Negara perlu merevisi aturan penggunaan senjata api oleh aparat. Memastikan bahwa penggunaannya hanya sebagai upaya terakhir sesuai prinsip legalitas, nesesitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas.
Keempat, Pertanggungjawaban Hukum: Aparat yang terbukti bersalah harus di adili, tidak hanya petugas lapangan tetapi juga atasan yang lalai dalam pengawasan.
Keadilan Bagi Korban
Pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan reparasi bagi para korban dan keluarganya. Termasuk kompensasi, rehabilitasi, serta jaminan bahwa pelanggaran serupa tidak akan terulang.
Kasus-kasus ini adalah pengingat keras bahwa kekerasan oleh aparat adalah ancaman serius terhadap perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Reformasi institusional dan akuntabilitas harus menjadi prioritas utama untuk memastikan bahwa Polri menjalankan tugasnya sebagai pelindung masyarakat, bukan ancaman.