Nasional

Kebebasan Sipil Indonesia Kian Tertekan, Masuk Daftar Pemantauan CIVICUS

×

Kebebasan Sipil Indonesia Kian Tertekan, Masuk Daftar Pemantauan CIVICUS

Sebarkan artikel ini

CIVICUS Monitor, lembaga pemantau kebebasan sipil berbasis di Johannesburg, menempatkan Indonesia dalam watchlist atau Daftar Pemantauan terbaru mereka.

Demo Indonesia Gelap di Jakarta 21 Februari 2025. (Foto: Amnesty International Indonesia)

SinarHarapan.id – CIVICUS Monitor, lembaga pemantau kebebasan sipil berbasis di Johannesburg, menempatkan Indonesia dalam watchlist atau Daftar Pemantauan terbaru mereka. Keputusan ini diambil menyusul memburuknya kondisi kebebasan sipil selama sembilan bulan pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Laporan CIVICUS menyebutkan bahwa pembatasan terhadap kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berserikat semakin menguat. Aparat keamanan kerap menangkap pengunjuk rasa, menyerang jurnalis, dan mengintimidasi aktivis hak asasi manusia. Sementara itu, revisi sejumlah undang-undang dinilai dilakukan secara tergesa-gesa tanpa proses yang transparan dan partisipatif.

Indonesia kini masuk kategori “terhalang” dalam pemetaan ruang sipil CIVICUS, sejajar dengan Kenya, El Salvador, Serbia, Turki, dan Amerika Serikat. “Menyuarakan pendapat kini menjadi tindakan berbahaya di Indonesia,” ujar Josef Benedict, peneliti Asia di CIVICUS. “Pengkritik pemerintah dibungkam dengan ketakutan, kekerasan, dan intimidasi.”

Tekanan terhadap Aktivis dan Demonstran

Menurut laporan jaringan masyarakat sipil di Indonesia, lebih dari 100 aktivis mengalami kriminalisasi, intimidasi, atau kekerasan fisik dalam paruh pertama 2025. Mereka yang menjadi sasaran termasuk aktivis lingkungan, pegiat antikorupsi, akademisi, hingga buruh dan mahasiswa.

Aksi protes pun kerap dibubarkan secara represif. Pada Maret lalu, demonstrasi menolak revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) diwarnai kekerasan. Jurnalis yang meliput peristiwa itu dipaksa menghapus rekaman dan mengalami penyerangan fisik oleh aparat.

Kekerasan juga terjadi saat peringatan Hari Buruh Internasional. Polisi menangkap 14 orang, termasuk tenaga medis yang bertugas, dan memukuli 13 di antaranya hingga luka-luka. Tidak ada pelaku kekerasan yang diproses hukum.

Di Papua, aparat membubarkan aksi damai mahasiswa Universitas Cenderawasih pada Mei lalu dengan kekerasan serupa, termasuk pemukulan dan penangkapan. Sebelumnya, aksi serupa juga direspons dengan gas air mata dan kekerasan fisik.

Intimidasi terhadap KontraS dan Jurnalis

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengalami intimidasi intensif sejak Maret hingga Mei. Kantor mereka di Jakarta hampir dibobol, dan kendaraan mencurigakan kerap terlihat di sekitar lokasi. Staf KontraS juga menerima panggilan misterius yang diduga berasal dari lembaga intelijen.

Sementara itu, jurnalis dari media Tempo menjadi korban teror. Sebuah kepala babi dikirim ke rumahnya, dan keluarganya mengalami intimidasi digital. Di sisi lain, DPR RI memperketat aturan bagi jurnalis asing dengan mewajibkan izin kepolisian sebelum melakukan peliputan di Indonesia.

“Bahkan tenaga medis pun kini menghadapi risiko pemukulan saat menjalankan tugas di lapangan,” kata Benedict. “Ini bukan sekadar kegagalan melindungi rakyat. Kekerasan ini menciptakan impunitas dan mengikis ruang sipil secara perlahan.”

Revisi Hukum yang Mengkhawatirkan

Laporan CIVICUS juga menyoroti sejumlah perubahan kebijakan dan regulasi yang dianggap memperkuat kekuasaan pemerintah sambil melemahkan akuntabilitas.

Selain revisi UU TNI, pemerintah juga mendorong perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Kepolisian. Jika disahkan, kedua revisi ini dikhawatirkan akan memperluas wewenang aparat tanpa menjamin perlindungan terhadap hak-hak sipil.

Pada Juni lalu, pemerintah menandatangani kesepakatan dengan empat operator telekomunikasi besar untuk memfasilitasi penyadapan. Langkah ini memicu kekhawatiran terkait pengawasan massal dan pengumpulan data secara sewenang-wenang.

“Upaya perubahan hukum ini dilakukan secara cepat dan diam-diam. Ini menunjukkan ketidakterbukaan pemerintah terhadap proses demokratis,” ujar Benedict. “Perubahan ini bukan untuk melindungi rakyat, tetapi untuk memperkuat kontrol kekuasaan.”

Desakan Transparansi dan Partisipasi

CIVICUS mendesak pemerintah Indonesia untuk menghentikan segala bentuk intimidasi terhadap aktivis dan masyarakat sipil. Mereka juga meminta agar pelaku kekerasan dari aparat keamanan diproses secara hukum.

Pemerintah, menurut CIVICUS, harus memastikan setiap perubahan regulasi dilakukan secara terbuka dan sesuai standar hak asasi manusia internasional.

Masuknya Indonesia ke dalam daftar pemantauan, menurut Nadine Sherani dari KontraS, merupakan alarm keras terhadap merosotnya kebebasan sipil sejak Presiden Prabowo mulai menjabat. “Komunitas internasional perlu bersuara dan berdiri bersama masyarakat sipil Indonesia,” ujarnya.

Tentang CIVICUS Monitor

CIVICUS Monitor merupakan platform global yang memantau kondisi kebebasan sipil di 198 negara dan wilayah. Pemeringkatan mereka berdasarkan indikator-indikator kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berserikat. Lima kategori pemeringkatan yang digunakan adalah: tertutup, tertekan, terhalang, menyempit, dan terbuka.

Hingga laporan ini dirilis, terdapat 35 negara dalam kategori “terhalang”, termasuk Indonesia.

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi media@civicus.org.