SinarHarapan.id – Industri rokok Indonesia menghadapi tantangan besar dengan diterapkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.

Aturan ini diprediksi akan berdampak pada pengurangan produksi rokok dan berpotensi menyebabkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam jangka panjang.

Menurut Kementerian Perindustrian (Kemenperin), efisiensi di industri ini dapat memaksa perusahaan untuk melakukan pengurangan tenaga kerja.

Sepanjang pandemi Covid-19, industri rokok terbukti tangguh dan tidak melakukan PHK, bahkan tetap mencetak keuntungan.

Namun, dengan adanya regulasi baru ini, industri yang sebelumnya mampu bertahan tanpa PHK justru terancam melakukan efisiensi besar-besaran.

Industri rokok merupakan salah satu penyumbang utama pendapatan negara, menyumbangkan cukai sebesar Rp213 triliun pada tahun 2023, melebihi kontribusi BUMN.

Jika ditambahkan dengan pajak, kontribusi industri ini mencapai Rp250 triliun. Hal ini menjadikannya sebagai sektor yang vital dalam menopang ekonomi, terutama bagi petani, buruh, dan pedagang.

Kemenperin menyuarakan keprihatinan atas dampak penerapan aturan ini, khususnya terkait penurunan pendapatan negara.

Oleh karena itu, mereka berharap Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dapat memberikan solusi alternatif yang dapat menutupi potensi kekurangan penerimaan negara.

Dampak dari peraturan ini diharapkan tidak hanya sebatas pada industri rokok, tetapi juga pada perekonomian masyarakat yang terlibat dalam rantai pasok industri tembakau.

Kebijakan yang tepat diperlukan agar negara tidak kehilangan pendapatan yang signifikan, sementara kesejahteraan tenaga kerja tetap terjaga.

Kemenkes diharapkan telah menyiapkan kebijakan atau solusi yang bisa membantu mengimbangi potensi penurunan penerimaan negara akibat penurunan produksi di sektor rokok. (rht)